1. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّرِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَضْفَارِ وَنَتْفُ اْلآبَاطِ
(artinya) : “Fitrah itu ada lima, yaitu : khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”
Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6297 – Al Fath, Imam Muslim (3/27 – Imam Nawawi), Imam Malik di dalam Al Muwattha’ (1927), Imam Abu Dawud (4198), Imam Tirmidzi (2756), Imam Nasa’I (I/14-15), Imam Ibnu Majah (292), Imam Ahmad di dalam Al Musnad (2/229) dan Imam Baihaqi (8/323).
2. Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya ia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu mengatakan :
قَدْ أَسْلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ
(artinya) : “Sungguh saya telah masuk Islam”. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Buanglah darimu buku (rambut) kekufuran dan berkhitanlah”.
Hadits Hasan, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (356) dan Imam Baihaqi dari beliau (1/172) juga Imam Ahmad (3/415.
Berkata Syaikh Al Albani di dalam Al Irwa’ (79): Ini adalah hadits hasan, karena hadits ini memiliki dua pendukung. Salah satunya dari Qatadah dan Abu Hisyam, sedangkan yang satu dari Wa’ilah bin Asqa’. Dan sunggu saya telah membicarakan tentang keduanya. Telah saya jelaskan juga di dalam Shahih Sunan Abu Dawud (no 1383) bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan hadits ini.
3. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda :
إِلْخَتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَانِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً
“Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”.
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6298 – Al Fath), Imam Muslim (2370), Imam Baihaqi (8/325) dan Imam Ahmad (2/322-418) dan lafadz hadits ini ada pada beliau.
Didalam hadit-hadits di atas terdapat keterangan tentang disyariatkannya khitan. Dan bahwasanya orang yang tuapun tetap diperintahkan untuk melaksanakannya, jika ia belum pernah berkhitan.
Khitan bagi Wanita
Adapun tentang disyariatkannya khitan bagi para wanita, maka dalam hal ini ada beberapa hadits, diantaranya sebagai berikut ini :
1. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam kepada Ummu ‘Athiyah radiyallahu ‘anha (seorang wanita juru khitan) :
أُخْفُضِي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ أَحْضَى لِلْزَوْجِ
“Khitanlah (anak-anak perempuan), tetapi jangan dipotong habis! Karena sesungguhnya khitan itu membuat wajah lebih berseri dan membuat suami lebih menyukainya”.
Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (5271), Imam Al Hakim (3/525), Imam Ibnu ‘Adi di dalam AL Kamil (3/1083) dan Imam Al Khatib didalam Tarikhnya (12/291).
2. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam :
ِإذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila dua khitan (khitan laki-laki dan khitan perempuan) sudah bertemu, maka sudah wajib mandi”.
Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi (108-109), Imam Syafi’I (1/36), Imam Ibnu Majah (608), Imam Ahmad (6/161), Imam Abdurrazzaq (1/245-246) dan Imam Ibnu Hibban (1173-1174- Al Ihsan).
Didalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam menisbatkan khitan untuk para wanita. Maka ini menjadi dalil tentang disyariatkan juga khitan bagi mereka (wanita, red).
3. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha secara marfu’ :
اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْخُسْلُ
(artinya) : “Apabila seorang lelaki telah berada di atas empat bagian tubuh istrinya, dan khitannya telah menyentuh dengan khitan istrinya, maka sudah wajib mandi”.
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/291 – Al Fath), Imam Muslim (349- Imam Nawawi), Imam Abu ‘Awanah (1/289), Imam Abdurrazaq (939-940), Imam Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Imam Baihaqi (1/164).
Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam juga mengisyaratkan adanya dua tempat khitan, yaitu pada seorang lelaki dan pada seorang perempuan. Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan juga dikhitan.
Imam Ahmad rahimahullah berkata : Didalam hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para wanita dahulu juga dikhitan.
Hendaklah diketahui bahwa khitan wanita merupakan hal yang ma’ruf (dikenal umum, red) di kalangan para Salaf. Barangsiapa yang ingin menambah panjang lebar penjelasan tentang hal ini, silahkan melihat kitab Silsilatul Ahaditsush Shahihah (2/353). Karena sesungguhnya Syaikh Al Albani – semoga Allah melimpahkan pahala untuk beliau – telah menyebutkan banyak hadits dan atsar yang berkaitan dengan hal ini di dalam kitab tersebut.
Hukum Khitan
Pendapat yang rajih (kuat) adalah wajib. Dan itulah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang ada maupun kebanyakan pendapat para ulama. Dan telah pasti pula perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam kepada seorang yang baru masuk Islam untuk berkhitan. Kata beliau kepadanya :
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah darimu rambut/bulu kekufuran dan berkhitanlah.”
Maka perintah beliau Shallallahu 'alaihi wassalam kepada orang itu untuk berkhitan ini merupakan dalil terkuat yang menunjukkan tentang wajibnya.
Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah (hal 69) berkata : “Adapun hukum khitan, maka yang rajih menurut kami adalah wajib. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i maupun Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah. Beliau membawakan lima belas sisi untuk berdalil untuk mendukung pendapat ini. Meskipun masing-masing sisi tidak kokoh (dukunganna atas pendapat ini) ketika berdiri sendiri. Akan tetapi secara keseluruhan tidak diragukan lagi kuatnya sisi-sisi pendalilan tersebut. Hanya saja disini bukan tempatnya untuk membicarakan semuanya, tetapi kami cukupkan disini untuk menyebutkan dua sisi saja, yaitu :
1. Firman Allah Ta’ala :
“Kemudian Kami wahyukan…mempersekutukan Allah”. (An Nahl 123)
Khitan termasuk diantara millah (ajaran) Ibrahim ‘alaihissalam sebagaimana terdapat di dalam hadits Abu Hurairah yang akan disebutkan setelah ini. Dan ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Baihaqi yang juga disadur oleh Al Hafidz di dalam Al Fath (10/281).
2. Bahwa khitan itu merupakan syiar-syiar Islam yang paling nampak, yang membedakan antara seorang muslim dengan nashrani. Hingga kaum muslimin hampir-hampir menganggap orang yang tidak berkhitan itu tidak termasuk dari kalangan mereka (kaum muslimin).
Kami tambahkan pula sisi yang ketiga untuk mendukung dalil wajibnya khitan, yaitu yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al Fath (10/417) dari Abu Bakr Ibnul Arabi ketika beliau membicarakan tentang hadits :
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ
(artinya) : “Fitrah itu ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan,…”
Kata beliau : “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin”.
Hukum khitan ini umum untuk kaum pria maupun kaum wanita. Hanya saja tidak ada pada sebagian kaum wanita - bagian tubuh yang dipotong - untuk dikhitan, yaitu apa yang dinamakan dengan klitoris. Maka tidak masuk akal, kalau kita perintahkan kepada mereka untuk dipotong (dikhitan), sementara hal itu tidak ada dalilnya.
Ibnu Hajj di dalam Al Madkhal (3/396) berkata : “Diperselisihkan hukum khitan ini pada para wanita. Apakah mereka dikhitan secara mutlak ataukah dibedakan antara wanita Timur dengan wanita Barat. Adapun para wanita Timur, maka mereka diperintahkan karena adanya bagian kemaluannya (untuk dipotong), yang lebih dari asal penciptaannya. Sedangkan para wanita Barat tidak diperintahkan kepada mereka keterangan tiadanya khitan pada mereka.Sehingga hal ini kembali merujuk kepada tuntutan ‘illah (sebab yang menetapkan hukum).
Waktu Khitan
Sunggu telah berlalu penjelasan tentang hukum khitan yaitu wajib. Dan termasuk diantara hal-hal yang telah diketahui di dalam ilmu ushul fiqh, bahwasanya suatu kewajiban menuntut agar dilakukannya perintah tersebut dengan segera. Sesungguhnya telah ada di dalam sebagian hadits tentang penentuan waktu khitan, yaitu pada hari ketujuh.
Terdapat di dalam masalah ini tiga hadits yang menunjukkan bahwa khitan itu dilakukan pada hari ketujuh. Dan hadits-hadits tersebut tidak ada yang terluput dari perbincangan para ulama. Dan kami bawakan keterangan rinci tentang hal ini di dalam pembahasan berikut ini :
1. Dari Jabir bin Abdullah
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain (dan beliau Shallallahu 'alaihi wassalam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh).
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Adi di dalam Al Kamil (3/1075), Imam Thabrani didalam Ash Shaghir (2/122), Imam Baihaqi di dalam Al Kubra (8/324) dan di dalam Asy Sy’ab (6/394) dari jalan sanad Muhammad bin Abis Sari al Atsqalani mengatakan : “ Telah bercerita kepadaku Al Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Muhammad bin Munkadir darinya. Dan berkata Imam Thabrani : Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini yang menambahkan lafadz :
“Beliau Shallallahu 'alaihi wassalam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh”.
Kami katakan : Ini adalah sanad yang dhaif (lemah), padanya ada cacat yang beruntun:
- Pertama, Muhammad bin Abis Sari - Abu ‘Ashim AL Atsqalani. Al Hafidz di dalam At Taqrib berkata : Ia seorang yang shaduq (jujur) dan ‘arif, tetapi banyak keliru (dalam periwayatan). Maka kami khawatir bahwa hadits ini termasuk diantara kekeliruannya.
- Kedua, Al Walid bin Muslim telah melakukan tadlis taswiyah dan menyebutkan riwayatnya dengan “ ‘an ” dari gurunya terus ke atas
- Ketiga, Zuhair bin Muhammad. Al Hafidz di dalam At Taqrib berkata : “Periwayatan Ahlu Syam darinya tidak tetap. Oleh karenanya hadits ini dha’if”.
Beliau katakan juga dalam At Tahdzib (3/301 – 302) : “Berkata Imam Bukhari : Hadits yang diriwayatkan oleh Ahlu Syam darinya sesungguhnya merupakan hadits-hadits yang mungkar. Berkata Imam Abu Hatim : Kedudukannya sebagai orang yang jujur, tetapi hafalannya buruk. Dan haditsnya yang ada di Syam lebih mungkar dari haditsnya yang ada di Iraq. Berkata Al ‘Ajli : Ia tidak mengapa, tetapi hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahlu Syam darinya tidak membuatku kagum”.
Kami katakan : “Hadits di atas termasuk diantara riwayat-riwayat Ahlu Syam, karena Al Walid Bin Muslim adalah seorang Dimasyqi Syami (yakni penduduk Syam –ed). Lagi pula tambahan yang tersebut di dalam hadits di atas adalah mungkar. Dimana ada tujuh sahabat yang meriwayatkan hadits ini, tetapi mereka tidak menyebutkan adanya tambahan tersebut. Ketujuh sahabat tersebut adalah : Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdullah (riwayat Abu Zubair darinya), Anas bin Malik, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah ibnu Abbas, Buraidah Al Aslami dan Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu ‘anhum ajma’in. Tidak seorangpun dari ketujuh sahabat tersebut yang meriwayatkan tambahan lafadz : “Beliau Shallallahu 'alaihi wassalam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh”. Hanya saja dipersilisihkan dalam tambahan ini atas Jabir radiyallahu ‘anhu. Maka Abu Zubair meriwayatkan hadits ini darinya tanpa tambahan, sehingga mencocoki riwayat jamaah shahabat yang lain, yaitu dengan lafadz bahwasanya “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain”. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah didalam Al Mushannaf (8/46), Imam Abu Ya’la (1933), Imam Thabrani di dalam AL Kabir (2573). Diriwayatkan juga hadits ini oleh Muhammad bin Munkadir dari Jabir dengan tambahan tersebut, sedangkan illahnya bukan darinya, karena ia sebagaimana dikatakan di dalam At Tahdzib : Ia seorang yang tsiqah dan utama. Akan tetapi illah tersebut dari rawi yang meriwayatkan darinya sebagaiman penjelasan yang telah lalu.
2. Dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu ia berkata :
“Tujuh perkara diantara Sunnah pada anak bayi adalah : diberi nama, dikhitan,…”. Al Hadits.
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani di dalam Al Ausath (1/334-335) dari jalan sanad Rawwad bin Jaraah dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ darinya.
Al Hafidz di dalam At Talkhis (4/84) berkata : Di dalam sanadnya ada Rawwad bin Jaraah seorang yang dhaif. Juga beliau menyebutkan biografinya di dalam At Taqrib dengan mengatakan : Ia seorang yang shaduq (jujur), tetapi kacau hafalannya di akhir umurnya sehingga ditinggalkan.
Imam Adz Dzahabi di dalam Diwanudh Dhu’afa wal Matrukin (1/293) berkata : Ia dinyatakan tsiqah oleh Imam Ibnu Ma’in.
Imam Abi Hatim berkata : Kedudukannya sebagai orang yang jujur. Imam Daraquthni berkata : Ia dhaif.
Berkata Imam Ibnu ‘Adi didalam Al Kamil (3/1039) berkata : Umumnya riwayat yang ia bawakan dari gurunya tidak diikuti oleh orang lain. Ia seorang syaikh yang shalih, akan tetapi diantara hadits orang-orang yang shalih, ada hadits yang mugnkar. Hanya saja ia termasuk orang yang ditulis haditsnya.
Syaikh Al Albani didalam Al Irwa’ (4/385) berkata : “Saya katakan : Orang yang seperti itu keadannya apakah haditsnya dianggap atau dijadikan hujjah? Baik sebagai penguat atau pendukung ? Maka menurut kami harus diteliti. Wallahu a’lam.
Akan tetapi nampaknya syaikh Al Albani memandang rajih untuk menjadikan hadits ini sebagai pendukung. Karena beliau menyatakan di dalam Tamamul Minnah (68) tentang hadits Ibnu Abbas dan hadits Jabir radiyallahu ‘anhuma : “Akan tetapi salah satu diantara kedua hadits ini memperkuat yang lain, karena makhrajnya berbeda dan di dalam sanad kedua hadits tersebut tidak ada rawi yang tertuduh ”.
Catatan :
Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah tentang hadits Jabir (yang pertama) berkata :
”Hadits ini dinisbatkan oleh Al Hafidz dalam Al Fath (10/282) kepada Imam Abu Syaikh dan Imam Baihaqi. Akan tetapi beliau mendiamkan saja. Barangkali hadits ini ada pada beliau berdua dari jalan yang lain.”
Kami katakan : Bahkan hadits tersebut diriwayatkan dari jalan sanad itu sendiri sebagaimana dinyatakan di dalam Al Fath (11/343) oleh Al Hafidz : Dan hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Syaikh dari jalan sanad Al Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Ibnul Munkadir atau yang lain dari Jabir.
Maka hadits ini diriwayatkan dari jalan sanad Imam Thabrani sendiri, Imam Baihaqi maupun Imam Ibnu ‘Adi.
3. Dari Abu Ja’far ia berkata :
“Dahulu Fathimah mengaqiqahi anaknya pada hari ketujuh sekaligus mengkhitannya, mencukur rambut kepalanya dan bershadaqah uang seberat timbangan rambutnya.”
Dikeluarkan hadits ini oleh Imam Ibnu Abi Syaibah didalam Mushannafnya (8/53) dari jalan ‘Abduh bin Sulaiman dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Abdul Malik bin Al Lahyan dari Abu Ja’far.
Berkata Syaikh Muhammad Ied al ‘Abasi : Abu Ja’far ini barangkali adalah Muhammad bin Ali bin Husain. Karena beliau orang yang paling masyhur dengan kuniyah tersebut. Maka berarti sanad hadits ini terputus karena Abu Ja’far tidak mendapati Fahimah radiyallanhu ‘anha.
Jadi jelas hadits ini adalah dhaif, hanya saja masih bisa dijadikan sebagai pendukung.
Ada juga di dalam Musnad Al Firdaus karya Imam Dailami dari hadits Ali sebagai pendukung keempat. Hanya saja di dalam sanadnya ada seorang kadzdzab (pendusta besar), sehingga tidak bisa dijadikan sebagai pendukung. Maka secara umum ketiga hadits di atas dengan keseluruhan jalannya menunjukkan bahwa hadits tersebut ada asalnya. Sehingga jadilah hadits ini hasan. Wallahu a’lam.
Hal ini (pelaksanaan khitan pada hari ketujuh) merupakan perbuatan bersegera kepada kebaikan sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah Ta’ala :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu”. (QS Ali Imran 133).
Tidak diragukan lagi bahwa bersegera melakukannya lebih utama bagi seorang anak, dimana rasa sakitnya jelas lebih ringan. Berbeda dengan jika ditunda, maka ketika itu sakitnya lebih terasa. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam apabila dihadapkan kepada dua pilihan, maka tidaklah beliau memilih kecuali yang lebih mudah/ringan. Dan juga di dalam khitan terdapat penyingkapan aurat. Sedangkan penyingkapan aurat anak kecil lebih sedikit keburukannya dari pada anak yang sudah besar.
Disamping itu terdapat sebuah atsar dari Ibnu Abbas ketika beliau ditanya : “ Berapa umurmu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam wafat ?” Beliau menjawab : “Aku ketika itu sudah dikhitan. Dan dulu mereka tidak mengkhitan seseorang sampai ia menjadi anak yang paham (baligh)”.
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (11/90 – Al Fath), Imam Ahmad (1/264-287-357), Imam Thabrani di dalam Al Kabir (10/10575,10578-10579). Akan tetapi keduanya tidak mengeluarkan tambahan lafadz : Dan dulu mereka tidak mengkhitan….
Al Isma’ili menganggap cacat atsar ini dengan alasan goncang, hal ini karena adanya perbedaan umur yang telah dicapai oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu. Maka beliau mengatakan : Sesungguhnya perkataan : “Dan dulu mereka tidak mengkhitan…”, adalah perkataan yang dimasukkan ke dalam atsar ini. Akan tetapi disanggap pernyataan beliau ini oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al Fath (11/90), maka lihatlah kesana karena pentingnya hal ini.
Maka atsar ini menunjukkan atas bolehnya menunda khitan hingga anak tersebut mencapai usia baligh. Karena atsar tersebut menjelaskan tentang amalan kebanyakan para shahabat dalam hal khitan ini dan menunda hingga anak mencapai usia baligh. Dan tidak ragu lagi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam telah hidup bersama mereka. Maka kalau saja perbuatan mereka tersebut menyelisihi syariat, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wassalam menjelaskan hal ini kepada mereka. Sehingga hal ini merupakan indikasi yang mengalihkan perintah tersebut dari bersegera melakukannya. Hanya saja masih tetap ada wajibnya perintah ini, maka tidak boleh untuk menunda khitan tersebut sampai melebihi usia baligh.
Al ‘Allamah Al Mawardi sebagaimana disebutkan di dalam Fathul Bari (10/342) berkata : Dalam hal khitan ada dua waktu ; yaitu waktu Wajib dan waktu Sunnah. Waktu Wajib adalah ketika baligh dan waktu Sunnah adalah sebelumnya. Yang terbagus adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Dan disukai agar tidak menunda dari waktu Sunnah kecuali karena udzur.
Berkata Al Haitsami di dalam Az Zawajir (2/163) :
“Yang benar bahwasanya jika kami menyatakan wajibnya khitan berarti meninggalkannya tanpa udzur adalah suatu kefasikan. Maka pahamilah bahwa pembicaraan hal ini hanyalah berkisar pada khitan bagi kaum pria bukan kaum wanita. Sehingga kaum pria dikatakan melakukan perbuatan fasik dengan meninggalkan khitan ini. Dan jika perbuatan ini dikatakan sebagai kefasikan, berarti itu merupakan dosa besar.”
Rabu, 30 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar