Kamis, 01 Oktober 2009

Contoh Makalah

MEROKOK DAN KANDUNGAN HARAM DALAM OBAT MENURUT ISLAM
























Dibuat Oleh :

Ageng Adi Wibowo







AKPER PANCA BHAKTI
BANDAR LAMPUNG
2009-2010



Kata pengantar

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Merokok dan kandungan haram dalam obat-obatan menurut islam”, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini memuat tentang “Merokok dan kandungan haram dalam obat-obatan menurut islam”karma merokok sangat berbahaya bagi kesehatan seseorang. Walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen dan teman-teman yang telah bersedia membantu dalam penyelesaian tugas ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Terima kasih.




Merokok adalah Haram
Rokok, dulu makruh, kini haram. Sepintas, ini mungkin terasa aneh. Wong hukum kok berubah-ubah, yang dari dulu diketahui makruh sekarang dikatakan haram.

Hal ini disebabkan kita masih sering mencampuradukkan antara pengertian syariah dan fiqih. Syariah adalah hukum yang diwahyukan oleh Allah SWT, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah. Apa yang telah ditetapkan 14 abad yang lalu berupa hukum Syariah itu, tetap berlaku hingga kini bahkan sampai akhir jaman nanti, tidak berubah.

Lain halnya dengan Fiqih. Fiqih adalah hukum Islam yang dideduksi dari syariah untuk menjawab situasi-situasi spesifik yang tidak secara langsung ditetapkan oleh hukum syariah. Penetapan hukum berdasarkan deduksi ini dapat saja berubah tergantung pada situasi dan kondisi dimana hukum itu diterapkan. Kedua istilah yang sebenarnya tidak sama ini, hingga kini masih sering dipukul rata saja dengan sebutan, Hukum Islam.

Lima Ratus Silam

Budaya (me) rokok termasuk gelaja yang relatif baru di dunia Islam. Tak lama setelah Chirstopher Columbus dan penjelajah-penjelajah Spanyol lainnya mendapati kebiasaan bangsa Aztec ini pada 1500, rokok kemudian tersebar dengan cepatnya ke semenanjung Siberia dan daerah Mediterania. Dunia Islam, pada saat itu berada dui bawah kekhilafahan Ustmaniyah yang berpusat di Turki. Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang mulai terpengaruh dan mengikuti kebiasaan merokok, maka dipandang perlu oleh penguasa Islam saat itu untuk menetapkan hukum tentang merokok.

Pendekatan yang digunakan untuk menetapkan hukum merokok, adalah dengan melihat akibat yang nampak ditimbulkan oleh kebiasaan ini. Diketahui bahwa merokok menyebabkan bau nafas yang kurang sedap. Fakta ini kemudian dianalogkan dengan gejala serupa yang dijumpai pada masa Rasulullah Saw, yaitu larangan mendatangi masjid bagi orang-orang yang habis makan bawang putih/bawang merah mentah, karena bau tak sedap yang ditimbulkannya. Hadist mengenai hal ini diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Umar, ra, dimana Nabi bersabda, “Siapa yang makan dari tanaman ini (bawang putih) maka jangan mendekat masjid kami” (HR Bukhari-Muslim).

Sebagaimana kita ketahu, di penghujung sholat setiap orang memberikan salam, yang bisa bertemu muka satu dengan yang lainnya. Dapat dibayangkan, betapa tidak nyamannya bila ucapan salam ke kanan-kiri itu menebarkan “wangi” bawang mentah! Berdasarkan analogi tersebut, para ulama Islam saat itu berpendapat bahwa merokok hukumnya makruh (tercela).

Kini, Haram

Demikianlah hukum merokok yang sampai saat ini kita pahami, makruh. Lima ratus tahun berselang, fakta-fakta medis menunjukkan bahwa rokok tidak sekedar menyebabkan bau nafas tak sedap, tetapi juga berakibat negatif secara lebih luas pada kesehatan manusia.

Sebenarnya pengaruh buruk dari merokok terhadap kesehatan telah diperkirakan sejak awal abad XVII (Encyclopedia Americana, Smoking and Health, p.70 1989). Namun demikian, rupanya perlu waktu hingga 350 tahun untuk mengumpulkan bukti-bukti ilmiah yang cukup untuk meyakinkan dugaan-dugaan itu.

Kenaikan jumlah kematian akibat kanker paru-paru yang diamati pada awal abad XX telah menggelitik dimulainya penelitian-penelitian ilmiah tentang hubungan antara merkokok dan kesehatan. Sejalan dengan peningkatan pesat penggunaan tembakau, penelitian pun lebih dikembangkan, khususnya pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an.

Laporan penting tentang akibat merokok terhadap kesehatan dikeluarkan oleh The Surgeon General’s Advisory Committee on Smoking and Health di Amerika Serikat pada tahun 1964. Dua tahun sebelumnya The Royal College of Physician of London di Inggris telah pula mengeluarkan suatu laporan penelitian penting yang mengungkapkan bahwa merokok menyebabkan penyakit kanker paru-paru, bronkitis, serta berbagai penyakit lainnya.

Hingga tahun 1985 sudah lebih dari 30.000 paper tentang rokok dan kesehatan dipublikasikan. Sekarang ini tanpa ada keraguan sedikitpun disimpulkan bahwa merokok menyebabkan kanker paru-paru baik pada laki-laki maupun wanita. Diketahui juga bahwa kanker paru-paru adalah penyebab utama kematian akibat kanker pada manusia. Merokok juga dihubungkan dengan kanker mulut, tenggoroka, pankreas, ginjal, dan lain-lain.

Bukti-bukti ilmiah tentang pengaruh negatif rokok terhadap kesehatan yang telah diringkaskan di atas mengharuskan kita untuk meninjau kembali status hukum makruh merokok yang selama ini kita ketahui. Beberapa fakta berikut ini sangatlah relevan untuk dijadikan bahan perenungan dan pertimbangan, sebelum sebatang rokok lagi mulai anda “nikmati” :

1. Rokok menyebabkan kanker dan kanker menyebabkan kematian, maka merokok menyebabkan kematian. Hukum tentang perbuatan semacam ini secara terang dijelaskan dalam syariat Islam, antara lain ayat Al-Quran yang terjemahannya adalah: “…dan janganlah kamu membunuh jiwa…” (QS 6:151)
2. Tubuh kita pada dasarnya adalah amanah dari Allah yang harus dijaga. Mengkonsumsi barang-barang yang bersifat mengganggu fungsi raga dan akal (intoxicant) hukumnya haram, misalnya alkohol, ganja dan sebangsanya. Perhatikan firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib adalah kekejian, termasuk perbuatan setan.Jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu sukses” (QS 5:90). Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah hadist yang dikumpulkan oleh Muslim dan Abu Dawud, dimana Nabi Saw berkata, “Setiap yang mengganggu fungsi akal (intoxicant) adalah khamr dan setiap khamr adalah haram”.
3. Merokok hampir selalu menyebabkan gangguan pada orang lain. Asap rokok yang langsung diisapnya berakibat negatif tidak saja pada dirinya sendiri, tapi juga orang lain di sekitarnya. Asap rokok yang berasal dari ujung puntung maupun yang dikeluarkan kembali dari mulut dan hidung si perokok, menjadi “jatah” orang-orang disekelilingnya. Ini yang disebut passive smoking atau sidestream smoking yang berakibat sama saja denan mainstream smoking. Berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya (mudharat) bagi diri sendiri apalagi orang lain, adalah hal yang terlarang menurut syariat. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Laa dharar wa laa dhiraar”.
4. Harta yang kita miliki tidaklah pantas untuk dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaa, misalnya dengan membakarnya menjadi abu dan asap rokok. Tegakah kita melihat selembar uang berwajah kartini dibakar setiap minggunya? Perhatikan ayat-ayat Alquran sebagai berikut: “…dan janganlah menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sungguh para pemboros adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar pada Tuhannya” (QS 17: 26-27). Sungguh ayat ini adalah suatu deskripsi yan sangat serius

Kesimpulan

Uraian singkat di atas cukuplah kiranya membuktikan bahwa kebiasaan merokok merupakan suatu perbuatan yang terlarang menurut ajaran Islam. Merokok tidak saja memberikan mudharat bagi pelakunya, tetapi juga bagi orang-orang lain di sekitarnya. Merokok tidak dapat memberikan manfaat apapun bagi pelakunya, sehingga membelanjakan harta untuk rokok termasuk dalam kategori pemborosan (tabdzir) yang sangat dicela oleh Islam.

Perlu ditegaskan di sini bahwa Islam pada dasarnya adalah suatu sistem yang membangun, bukan yang menghancurkan. Islam tidak datang untuk menghancurkan kebudayaan, moral maupun kebiasan-kebiasaan umat manusia, tetapi ia datang untuk memperbaiki kondisi umat manusia. Dengan demikian segala sesuatunya dilihat dari persepektif kesejahteraan umat manusia, apa yang merugikan dihilangkan dan apa yang bermanfaat dikonfirmasikan. Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa Islam adalah suatu sistem yang:

“..menyuruh mengerjakan ma’ruf dan melarang perbuatan mungkar, dan menghalalkan segala cara yang baik dan mengharamkan segala yang buruk…” (QS. 7:157).

Mudah-mudahan kita sekalian diberi kekuatan untuk selalu melakukan apa yang diperintahkan Allah SWT dan RasulNya, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan RasulNya.


Menggugat Bahan Haram Dalam Obat
Bagi umat Islam mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyib merupakan bagian dari perintah agama. Demikian juga meninggalkan makanan yang haram adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kesadaran masyarakat muslim terhadap perkara yang wajib ini tak perlu dipertanyakan lagi, karena sudah menjadi suatu pedoman hidup.

Sebagai konsumen produk pangan, sudah seharusnya umat Islam mendapatkan jaminan dari para produsen atas kehalalan produk-produk pangan yang beredar di komunitas muslim. Faktanya, Konsumen sulit untuk mengetahui apakah suatu produk mengandung bahan haram ataukah tidak, kecuali bila produk tersebut mendapatkan sertifikat halal dari lembaga berwenang di dalam atau di luar negeri. Meski begitu, tidaklah berarti produk tak bersertifikat halal semuanya mengandung bahan haram. Selain produk pangan, ada produk lainnya yang status kehalalannya belum menjadi perhatian masyarakat yaitu produk obat-obatan, khususnya obat yang digunakan dengan cara ditelan atau diminum.

Hingga saat ini penulis belum pernah melihat obat resep dokter yang berlabel halal. Bagaimanapun juga obat yang ditelan pada hakekatnya adalah makanan. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh para perintis ilmu kedokteran seperti Hipokrates ataupun Ibnu Sina (Avisena) bahwa obat adalah makanan dan makanan pun adalah obat. Jelas sekali obat dan makanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu maka status kehalalan obat-obatan terutama yang ditelan adalah wajib adanya bagi kaum muslim.

Sekarang ini untuk produk minuman dan makanan olahan, sertifikasi kehalalannya sudah diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1996. Sertifikat halal ini diberikan setelah suatu produk pangan diperiksa oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), melalui proses audit yang ketat dalam hal asal-usul bahannya, komponen campurannya maupun proses produksinya. Namun, sayang sekali pada prakteknya sertifikasi halal produk pangan ini tidak diwajibkan kepada tiap produsen, tetapi hanya bersifat sukarela bergantung kepada kemauan produsen apakah mau ataukah tidak untuk mendapatkan sertifikat halal.

Dan yang lebih disayangkan lagi adalah karena sertifikasi halal ini belum menyentuh kepada produk obat-obatan resep dokter. Sepertinya masyarakat kita sampai saat ini masih sangat-sangat permisif terhadap status halalnya obat-obatan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat bahan-bahan yang berasal dari barang yang haram, misalnya babi. Sikap permisif ini barangkali karena adanya pemahaman tentang Hukum Darurat yang kurang terkontrol. Padahal dalam ajaran Islam, darurat itu ada batasannya.

Memang benar bahwa barang yang haram itu bisa menjadi halal bila dalam keadaan yang sangat darurat, sebagaimana halnya bangkai hewan, darah ataupun daging babi yang bisa halal dimakan bila dalam keadaan darurat (Alquran Surat Al-Baqarah : 173). Namun dalam kasus obat-obatan sepertinya hukum darurat ini kesannya terlalu diperlebar dan berlebihan, sehingga bahan obat apapun akan dianggap halal tanpa kecuali, karena berlindung di balik tameng darurat. Kalau kita menyimak prinsip hukum darurat yang digambarkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist, sebenarnya hukum darurat itu diterapkan hanya bila dalam keadaan yang sangat terpaksa saja.

Sebagaimana juga dalam masalah dihalalkannya bangkai hewan, yaitu bilamana minimal dalam sehari semalam (misalnya di tengah gurun pasir) tidak menemukan makanan apapun, kecuali hanya bangkai binatang itu saja satu-satunya. Namun mengkonsumsinya pun tidak boleh berlebihan, tapi sekedar untuk bisa bertahan hidup. Adapun dalam hal obat-obatan resep dokter, dengan semakin majunya bidang farmasi, maka banyak sekali variasi dan jenis obat-obatan yang umumnya berasal dari bahan yang tidak haram. Dengan demikian masyarakat ataupun para dokter mempunyai banyak pilihan atau alternatif dalam menentukan jenis obat yang tepat dan rasional untuk diresepkan bagi pasiennya.

Bahan haram dalam obat.

1.Unsur Babi (Porcine)
Menurut ahli farmasi bahwa bahan-bahan aktif obat pada merk obat tertentu, bila diteliti lebih jauh ada yang menggunakan bahan baku yang diharamkan di dalam ajaran Islam, misalnya babi. Sebagai contoh, ada obat suntik merk tertentu untuk mengobati penyakit kencing manis (diabetes melitus) yang berasal dari hormon insulin babi (porcine).

Sementara itu banyak pula obat suntik lainnya yang khasiat dan fungsinya sama untuk kecing manis, tetapi tidak berasal dari porcine atau babi. Lantas apakah masih bisa diyakini bahwa obat yang berasal dari babi itu masih halal digunakan dengan alasan darurat, padahal ada obat lainnya yang halal ? Bila hukum darurat ini dipahami dengan sebenarnya, maka pasti tidak akan ada muslim yang berani menghalalkan obat yang berasal dari babi ini, karena dasar untuk hukum daruratnya saat ini tidak terpenuhi.

Hal ini mengingat masih banyak pilihan merk obat lainnya yang tidak mengandung unsur babi. Oleh karena itu pemahaman yang berasumsi bahwa benda apapun akan halal dikonsumsi bila untuk obat, haruslah segera ditinggalkan jauh-jauh karena tidak sesuai dengan Syariah. Selama ini umumnya masyarakat tidak mengetahui dari apa saja dibuatnya bahan aktif suatu obat. Demikian juga pada brosur obat-obatan yang ada, produsen obat biasanya tidak menjelaskan asal-usul bahan aktif dan bahan penyerta pada produk obatnya secara lengkap. Para dokter pun mungkin belum tentu semuanya mengetahui asal-usul dibuatnya bahan dasar semua obat-obatan.

Hal ini karena di dalam kurikulum pendidikan dokter, masalah asal-usul bahan dasar pada setiap jenis obat ini tidak dibahas secara lengkap. Dalam materi kuliah tentang obat bagi mahasiswa kedokteran memang lebih ditekankan kepada mempelajari masalah mekanisme kerja obat di dalam tubuh, termasuk dalam hal khasiat obat, reaksi kimia, dosis, efek samping dll. Sedangkan masalah teknologi bahan obat maupun teknis pembuatan obat tidak dipelajari lebih jauh, karena masalah ini adalah bidangnya kalangan farmasi. Oleh karena itu para ahli farmasi muslim perlu sekali menjelaskan, bahan aktif obat apa saja yang berasal dari bahan-hahan yang haram, agar umat Islam mudah untuk menghindarinya. Hal ini mengingat bahwa obat-obatan itu umumnya adalah produk impor dari luar negeri, yang diciptakan atau diformulasikan oleh ilmuwan yang belum tentu mengenal masalah halal dan haram.

2. Alkohol (Etanol)
Bahan obat lainnya yang mungkin masih dianggap darurat adalah alkohol (etanol) yang biasa dipakai sebagai pelarut pada obat-obatan sirup jenis tertentu. Masalah alkohol ini memang ada perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslimin tentang status halal dan haramnya di dalam obat, terutama dalam penggunaan untuk campuran obat-obat sirup. Namun, perlu juga kita ketahui, hasil rapat Komisi Fatwa MUI tahun 2001 menyimpulkan bahwa minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol minimal 1 % (satu persen).

Menurut analisis para pakar, memang minuman beralkohol (etanol) di atas 1% akan berpotensi memabukkan. Hal ini merujuk pada keterangan hadis Rasulullah SAW riwayat Muslim dan Ahmad. Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang meminum air jus buah-buahan yang sudah didiamkan lebih dari 2 (dua) hari karena bisa memabukkan (khamar). Menurut pakar teknologi pangan, memang air jus buah yang didiamkan lebih dari 2 hari di dalam suhu kamar akan menghasilkan alkohol (etanol) dengan kadar sekitar 1 %.

Dengan adanya patokan 1 % ini, maka akan mudahlah bagi kita untuk memilih dan menentukan apakah suatu produk obat sirup itu dikatagorikan sebagai minuman keras atau bukan. Pembatasan kadar alkohol ini sangat perlu dan dimaksudkan untuk mencegah, karena prinsip Islam itu adalah mencegah ke arah yang haram.

Pada acara muzakarah tentang alkohol dalam minuman yang diselenggrakan MUI pada tahun 1993, dr Kartono Muhammad MPH, selaku ketua umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat itu, mengatakan bahwa fungsi alkohol dalam obat yang diminum sudah dapat digantikan dengan bahan lain sehingga disarankan untuk mencari alternatif pengganti alkohol dengan jenis pelarut lainnya yang lebih aman secara Syariah.

Kenyataan yang ada di masyarakat sekarang ini tidak sedikit obat-obatan sirup tertentu yang mengandung kadar alkohol yang lebih dari batas 1 %, baik obat resep dokter maupun obat yang dijual bebas. Akan tetapi ternyata merk obat sirup yang tanpa alkohol ataupun yang alkoholnya kurang dari 1%, jumlahnya jauh lebih banyak dari pada obat sirup yang berkadar alkohol lebih dari 1%. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan darurat untuk menghalalkan obat sirup yang kadar alkoholnya lebih dari 1 %, karena masih banyak pilihan obat lainnya baik yang berbentuk sirup maupun pil atau serbuk puyer yang memang tanpa alkohol.

Bila alkohol atau etanol ini berada pada campuran obat-obatan antiseptik untuk pemakaian pada tubuh bagian luar atau permukaan kulit, dan bukan untuk diminum, tentunya masih bisa dimaklumi. Meskipun larutan antiseptik kulit umumnya berkadar alkohol 70 %, hal ini tidak perlu untuk dipermasalahkan, karena obat luar ini tidak untuk diminum. Bila melihat dalilnya di dalam Alquran maupun hadis bahwa khamar (minuman keras) itu hanyalah haram untuk diminum. Tetapi, bila minuman keras ini hanya disentuh atau dioleskan ke permukaan kulit maka tidak akan menjadikannya haram. Mungkin untuk masalah ini masih terdapat perbedaan pendapat di antara kaum muslimin.

Oleh karena itu walaupun larutan antiseptik ini kadar alkoholnya hingga 70 % dan sangat berpotensi memabukkan atau bahkan bisa mematikan bila diminum, tapi tidaklah terlarang untuk dioleskan ke kulit yang luka. Jatuhnya hukum haram itu apabila larutan memabukkan ini diminum, dan bukannya dioleskan ke kulit. Dengan demikian, penggunaan alkohol yang berkadar lebih dari 1 % untuk penggunaan antiseptik di permukaan kulit yang terinfeksi atau luka, masih bisa diterima oleh dalil Syariah.

Lantas bagaimanakah hukumnya meminum minuman keras (khamar) untuk tujuan pengobatan menurut pandangan para fuqoha? Di dalam kitab Fikih Sunnah Sayyid Sabiq dikatakan bahwa dahulu pada zaman jahiliyah, ada orang-orang yang biasa meminum arak dengan dalih untuk pengobatan. Namun setelah datang ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, mereka dilarang menggunakannya dan sekaligus diharamkan meminumnya meskipun untuk tujuan pengobatan.

Imam Ahmad, Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Thariq bin Suaid Al Ju'fie, bahwasanya Suaid menanyakan kepada Rasulullah SAW mengenai khamar, lalu Rasulullah SAW melarangnya. Kemudian ia menjelaskan kepada Rasulullah bahwa minuman keras ini dibuatnya untuk pengobatan, lalu beliau bersabda : ''Sesungguhnya khamar itu bukan obat, tapi justru penyakit.''

Dalam hal obat yang berpotensi memabukkan, barangkali hanya obat bius (anestesi) saja yang bisa dikatagorikan darurat. Bagaimanapun juga, sesungguhnya orang yang dibius di kamar operasi bedah itu, pada dasarnya adalah orang yang sengaja dibuat mabuk hingga tak sadarkan diri, hanya saja mabuknya terkendali.

Namun status darurat bagi obat bius pun ada batasannya. Tentu saja batasannya adalah: siapa yang memakainya dan untuk apa tujuannya. Dengan demikian status darurat obat bius ini hanyalah berlaku bila digunakan oleh ahlinya untuk tujuan pengobatan yang rasional, dan bukan untuk drug abuse atau penyalahgunaan obat, seperti untuk teler atau mabuk-mabukan. Oleh karena itu hukum darurat obat bius ini akan berlaku bila pemakaiannya bukan untuk perilaku yang bertentangan dengan aturan Allah SWT.

3. Plasenta dan air kemih
Akhir-akhir ini organ tubuh yang disebut plasenta sedang tren digunakan dalam produk kosmetika maupun obat tertentu. Plasenta atau disebut juga ari-ari, adalah jaringan yang tumbuh di dalam rahim wanita ketika hamil, yang merupakan penghubung antara janin yang dikandung dengan ibu hamil yang mengandungnya. Plasenta ini berfungsi untuk menyalurkan zat-zat makanan, air, oksigen, dan zat-zat lainnya dari darah ibu hamil ke darah janin. Sebaliknya plasenta juga berfungsi untuk membuang karbondioksida, sisa metabolisme atau sampah, serta zat-zat lainnya dari janin ke tubuh ibu hamil.

Plasenta atau ari-ari ini memang selalu ditemukan pada semua makhluk hidup jenis mamalia yang sedang hamil, dan akan lepas dibuang dari rahim ketika melahirkan setelah keluarnya bayi. Adapun plasenta yang sering digunakan untuk kosmetika atau produk kesehatan tersebut, bisa berasal dari plasenta hewan atau dari plasenta manusia.

Sebagaimana diketahui bahwa sekarang ini pada layar televisi sering dijumpai iklan produk kecantikan atau produk untuk kesehatan yang tanpa kita sadari menggunakan plasenta sebagai salah satu bahan aktifnya. Plasenta dalam bentuk krim yang dioleskan ke permukaan kulit maupun dalam bentuk pil yang ditelan, diyakini dapat berfungsi untuk regenerasi sel-sel kulit sehingga dapat mempertahankan kulit agar tetap sehat, segar, muda dan cantik. Tidak hanya itu, plasenta juga diyakini mampu mengembalikan kemulusan kulit akibat luka atau penyakit kulit. Tetapi dari manakah plasenta ini berasal?

Menurut ahli farmasi, yang paling banyak digunakan oleh industri obat-obatan di luar negeri, justru adalah plasenta manusia yang diperoleh dari berbagai rumah sakit bersalin di sana. Kalaupun plasentanya berasal dari hewan, tentunya konsumen pun tidak akan tahu hewan apa yang diambil plasentanya, apakah babi, sapi ataukah apa? Dalam ingredien atau daftar komposisi pada kemasan produk obat berplasenta ini memang biasanya tidak disebutkan asal-usul plasentanya.

Meskipun kebanyakan penggunaan plasenta manusia ini bukan untuk produk pangan, akan tetapi penggunaan organ tubuh atau setidaknya penggunaan bagian dari kehidupan manusia ini telah menimbulkan pro dan kontra. Selain dari segi peradaban, sebetulnya yang lebih penting bagi umat Islam adalah halal atau tidaknya penggunaan plasenta maupun jaringan tubuh manusia lainnya bila dikonsumsi untuk tujuan pengobatan.

Demikian pula pengobatan tradisional dengan cara meminum air kencing (urine) yang keluar dari alat kelamin orang yang meminumnya, telah menjadi kontroversi di kalangan umat Islam, mengingat air kencing menurut ajaran Islam termasuk benda yang najis. Di kalangan medis pun terapi air seni atau urine ini masih mengundang pro dan kontra.


Namun, apa pun khasiat yang bisa ditemukan di dalam air kencing ini, bagi umat Islam tak ada alasan darurat untuk meminumnya selama masih ada obat lainnya yang bisa digunakan. Apalagi kalau meminum air seni dari tubuhnya sendiri ini hanya sekedar untuk mencoba-coba saja, maka harus dihindarkan oleh kaum muslim. Sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama menyoroti masalah pengobatan tradisional dengan air seni maupun tentang penggunaan plasenta manusia pada obat dan kosmetika. Untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat luas dan menghindari kesalah pahaman, secara khusus MUI dalam Munas tahun 2000 yang lalu telah membahas masalah plasenta manusia dan terapi urine ini. Dalam Keputusan Fatwa MUI nomor: 2/Munas /VI/ MUI/ 2000 ditetapkan bahwa :

1. Yang dimaksud dengan :
(a) Penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, dan bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh.
(b) Penggunaan air seni adalah meminumnya sebagai obat.
(c) Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan tubuh dan kulit, agar tetap atau menjadi baik dan indah.
(d) Al-Istihalah adalah perubahan suatu benda menjadi benda lain yang berbeda dalam semua sifat-sifatnya dan menimbulkan akibat hukum dari benda najis atau mutanajis menjadi benda suci dan dari benda yang diharamkan menjadi benda yang dibolehkan (mubah).

2. Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ tubuh manusia, hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli terpercaya.
3. Penggunaan air seni manusia hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli terpercaya.
4. Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram. Kecuali setelah masuk ke dalam proses Istihalah.
5. Menghimbau kepada semua pihak agar sedapat mungkin tidak memproduksi dan menggunakan obat-obatan atau kosmetika yang mengandung unsur bagian organ manusia atau berobat dengan air seni manusia.

Dengan adanya fatwa MUI tersebut, maka jelaslah bahwa pemakaian air kencing manusia dan plasenta manusia ini bila tidak dalam status darurat, maka hukumnya adalah haram bagi umat Islam. Apalagi bila masih ada obat-obat lain yang masih bisa digunakan, maka penggunaan air kencing maupun plasenta manusia sebagai obat, tidak ada dasar kedaruratannya. Kalaupun memang darurat, maka ukuran kedaruratannya ini tidak bisa hanya berdasarkan perasaan seseorang belaka, tetapi harus berdasarkan pertimbangan obyektif dari beberapa orang ahli kesehatan yang berkompeten, sekurang-kurangnya dari 3 (tiga) orang ahli.

Jadi, kondisi darurat ini tidak bisa hanya berdasarkan kepada pertimbangan satu orang ahli saja. Adapun ukuran darurat ini menurut pakar hukum Syariah adalah ancaman nyawa atau kematian. Artinya bila menurut pertimbangan dari minimal 3 orang dokter ahli, misalnya dinyatakan bahwa seorang pasien akan berisiko meninggal dunia bila tidak segera meminum air kencingnya atau obat berplasenta, sementara tidak ada satu pun obat lainnya yang bisa digunakan, maka status air kemih atau plasenta ini akan menjadi halal bagi orang tersebut pada saat itu.

Namun bila ternyata masih ada obat lainnya yang bisa digunakan, maka sifat kedaruratan air seni atau obat berplasenta ini menjadi batal atau tidak syah secara hukum Syariah alias haram. Bagi kaum muslim, sudah seharusnya saat ini untuk berhati-hati dalam membeli produk-produk yang kemungkinan mengandung plasenta manusia, minimal dengan membaca komposisi bahan-bahan yang tertulis di dalam kemasannya. Tentunya hal ini akan menambah kewaspadaan agar tidak terjebak oleh produk yang haram untuk dikonsumsi.

Menurut seorang pakar farmasi yang juga staf ahli di LPPOM-MUI, sekarang ini di pasaran ada beberapa obat pil atau kapsul merk tertentu yang bahan aktifnya terbuat dari plasenta manusia. Di antaranya adalah obat perangsang atau pelancar air susu ibu (ASI). Penggunaan obat ini yaitu untuk menstimulasi aktifitas kelenjar air susu ibu, agar setelah melahirkan produksi ASI-nya meningkat. Namun perlu juga diketahui bahwa masih ada obat jenis lain yang khasiatnya serupa tapi tidak mengandung plasenta manusia.

Sesungguhnya obat-obatan yang dijual bebas maupun obat resep dokter itu banyak sekali jenis dan variasinya. Dengan demikian maka banyak sekali alternatif yang bisa dipilih oleh masyarakat atau oleh dokter dalam menuliskan resepnya. Oleh karena itu sekarang ini tidak ada alasan darurat bagi umat Islam untuk meminum air kencingnya sendiri maupun menggunakan bahan yang mengandung plasenta manusia dengan dalih untuk pengobatan.

Obat Berlabel Halal
Dengan semakin banyaknya variasi dan jenis obat, maka obat-obatan yang berasal dari bahan yang haram atau memabukkan (kecuali obat bius), sudah seharusnya ditinggalkan oleh umat Islam. Selama masih ada alternatif obat lainnya yang halal, maka tidak ada alasan darurat bagi pemakaian obat-obatan yang mengandung bahan haram. Berhubung banyaknya obat-obatan yang diragukan dan tidak dijamin kehalalannya, maka sekarang sudah saatnya Departemen Agama, Departemen Kesehatan RI dan MUI membahas masalah status halal bagi obat-obatan. Apalagi sekarang ini populasi berbagai jenis obat cukup banyak seiring dengan semakin majunya bidang farmasi dan hampir setiap tahun selalu hadir berbagai merk obat-obatan yang baru.

Terlebih lagi karena obat-obatan itu umumnya adalah produk dari luar negeri yang belum dijaminan kehalalannya, maka perlu sekali adanya perlindungan bagi kalangan konsumen umat Islam agar tidak terjebak mengkonsumsi produk yang haram. Kalaulah produk makanan dan minuman bisa diberikan label halal, mengapa produk obat-obatan yang diminum atau ditelan tidak diberi sertifikat halal? Padahal pada hakekatnya obat itu adalah makanan dan makanan pun adalah obat. Obat dan makanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

Oleh karena itu kepastian dan jaminan halalnya produk pangan khususnya obat-obatan di Indonesia yang mayoritas muslim ini, sudah selayaknya diprioritaskan oleh produsen dan diatur oleh pemerintah. Penulis sebagai muslim sekaligus sebagai tenaga medis, secara pribadi sangat mengharapkan sekali dan menantikan hadirnya obat-obatan yang bersertifikat halal atau ada jaminan kehalalannya. Bila hal ini terealisasi maka tidak akan ada lagi keraguan ketika menuliskan resep obat apapun. Semoga saja sertifikasi halal bagi obat-obatan, khususnya jenis obat yang diminum atau ditelan, baik obat resep dokter maupun obat bebas, akan menjadi kenyataan di kelak kemudian hari. Rasulullah Saw bersabda : "Setiap daging (jaringan tubuh) yang tumbuh dari makanan haram, maka api nerakalah baginya." (HR At-Tirmidzi)




Penutup
Demikianlah hasil karya tulis yang bisa penyusun buat.apabila terdapat kesalahan dalam penulisan karya tulis ini,penyusun minta maaf dan kepada allah swt minta ampun.

Merokok adalah Haram

Rokok, dulu makruh, kini haram. Sepintas, ini mungkin terasa aneh. Wong hukum kok berubah-ubah, yang dari dulu diketahui makruh sekarang dikatakan haram.

Hal ini disebabkan kita masih sering mencampuradukkan antara pengertian syariah dan fiqih. Syariah adalah hukum yang diwahyukan oleh Allah SWT, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah. Apa yang telah ditetapkan 14 abad yang lalu berupa hukum Syariah itu, tetap berlaku hingga kini bahkan sampai akhir jaman nanti, tidak berubah.

Lain halnya dengan Fiqih. Fiqih adalah hukum Islam yang dideduksi dari syariah untuk menjawab situasi-situasi spesifik yang tidak secara langsung ditetapkan oleh hukum syariah. Penetapan hukum berdasarkan deduksi ini dapat saja berubah tergantung pada situasi dan kondisi dimana hukum itu diterapkan. Kedua istilah yang sebenarnya tidak sama ini, hingga kini masih sering dipukul rata saja dengan sebutan, Hukum Islam.

Lima Ratus Silam

Budaya (me) rokok termasuk gelaja yang relatif baru di dunia Islam. Tak lama setelah Chirstopher Columbus dan penjelajah-penjelajah Spanyol lainnya mendapati kebiasaan bangsa Aztec ini pada 1500, rokok kemudian tersebar dengan cepatnya ke semenanjung Siberia dan daerah Mediterania. Dunia Islam, pada saat itu berada dui bawah kekhilafahan Ustmaniyah yang berpusat di Turki. Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang mulai terpengaruh dan mengikuti kebiasaan merokok, maka dipandang perlu oleh penguasa Islam saat itu untuk menetapkan hukum tentang merokok.

Pendekatan yang digunakan untuk menetapkan hukum merokok, adalah dengan melihat akibat yang nampak ditimbulkan oleh kebiasaan ini. Diketahui bahwa merokok menyebabkan bau nafas yang kurang sedap. Fakta ini kemudian dianalogkan dengan gejala serupa yang dijumpai pada masa Rasulullah Saw, yaitu larangan mendatangi masjid bagi orang-orang yang habis makan bawang putih/bawang merah mentah, karena bau tak sedap yang ditimbulkannya. Hadist mengenai hal ini diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Umar, ra, dimana Nabi bersabda, “Siapa yang makan dari tanaman ini (bawang putih) maka jangan mendekat masjid kami” (HR Bukhari-Muslim).

Sebagaimana kita ketahu, di penghujung sholat setiap orang memberikan salam, yang bisa bertemu muka satu dengan yang lainnya. Dapat dibayangkan, betapa tidak nyamannya bila ucapan salam ke kanan-kiri itu menebarkan “wangi” bawang mentah! Berdasarkan analogi tersebut, para ulama Islam saat itu berpendapat bahwa merokok hukumnya makruh (tercela).

Kini, Haram

Demikianlah hukum merokok yang sampai saat ini kita pahami, makruh. Lima ratus tahun berselang, fakta-fakta medis menunjukkan bahwa rokok tidak sekedar menyebabkan bau nafas tak sedap, tetapi juga berakibat negatif secara lebih luas pada kesehatan manusia.

Sebenarnya pengaruh buruk dari merokok terhadap kesehatan telah diperkirakan sejak awal abad XVII (Encyclopedia Americana, Smoking and Health, p.70 1989). Namun demikian, rupanya perlu waktu hingga 350 tahun untuk mengumpulkan bukti-bukti ilmiah yang cukup untuk meyakinkan dugaan-dugaan itu.

Kenaikan jumlah kematian akibat kanker paru-paru yang diamati pada awal abad XX telah menggelitik dimulainya penelitian-penelitian ilmiah tentang hubungan antara merkokok dan kesehatan. Sejalan dengan peningkatan pesat penggunaan tembakau, penelitian pun lebih dikembangkan, khususnya pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an.

Laporan penting tentang akibat merokok terhadap kesehatan dikeluarkan oleh The Surgeon General’s Advisory Committee on Smoking and Health di Amerika Serikat pada tahun 1964. Dua tahun sebelumnya The Royal College of Physician of London di Inggris telah pula mengeluarkan suatu laporan penelitian penting yang mengungkapkan bahwa merokok menyebabkan penyakit kanker paru-paru, bronkitis, serta berbagai penyakit lainnya.

Hingga tahun 1985 sudah lebih dari 30.000 paper tentang rokok dan kesehatan dipublikasikan. Sekarang ini tanpa ada keraguan sedikitpun disimpulkan bahwa merokok menyebabkan kanker paru-paru baik pada laki-laki maupun wanita. Diketahui juga bahwa kanker paru-paru adalah penyebab utama kematian akibat kanker pada manusia. Merokok juga dihubungkan dengan kanker mulut, tenggoroka, pankreas, ginjal, dan lain-lain.

Bukti-bukti ilmiah tentang pengaruh negatif rokok terhadap kesehatan yang telah diringkaskan di atas mengharuskan kita untuk meninjau kembali status hukum makruh merokok yang selama ini kita ketahui. Beberapa fakta berikut ini sangatlah relevan untuk dijadikan bahan perenungan dan pertimbangan, sebelum sebatang rokok lagi mulai anda “nikmati” :

1. Rokok menyebabkan kanker dan kanker menyebabkan kematian, maka merokok menyebabkan kematian. Hukum tentang perbuatan semacam ini secara terang dijelaskan dalam syariat Islam, antara lain ayat Al-Quran yang terjemahannya adalah: “…dan janganlah kamu membunuh jiwa…” (QS 6:151)
2. Tubuh kita pada dasarnya adalah amanah dari Allah yang harus dijaga. Mengkonsumsi barang-barang yang bersifat mengganggu fungsi raga dan akal (intoxicant) hukumnya haram, misalnya alkohol, ganja dan sebangsanya. Perhatikan firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib adalah kekejian, termasuk perbuatan setan.Jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu sukses” (QS 5:90). Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah hadist yang dikumpulkan oleh Muslim dan Abu Dawud, dimana Nabi Saw berkata, “Setiap yang mengganggu fungsi akal (intoxicant) adalah khamr dan setiap khamr adalah haram”.
3. Merokok hampir selalu menyebabkan gangguan pada orang lain. Asap rokok yang langsung diisapnya berakibat negatif tidak saja pada dirinya sendiri, tapi juga orang lain di sekitarnya. Asap rokok yang berasal dari ujung puntung maupun yang dikeluarkan kembali dari mulut dan hidung si perokok, menjadi “jatah” orang-orang disekelilingnya. Ini yang disebut passive smoking atau sidestream smoking yang berakibat sama saja denan mainstream smoking. Berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya (mudharat) bagi diri sendiri apalagi orang lain, adalah hal yang terlarang menurut syariat. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Laa dharar wa laa dhiraar”.
4. Harta yang kita miliki tidaklah pantas untuk dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaa, misalnya dengan membakarnya menjadi abu dan asap rokok. Tegakah kita melihat selembar uang berwajah kartini dibakar setiap minggunya? Perhatikan ayat-ayat Alquran sebagai berikut: “…dan janganlah menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sungguh para pemboros adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar pada Tuhannya” (QS 17: 26-27). Sungguh ayat ini adalah suatu deskripsi yan sangat serius

Kesimpulan

Uraian singkat di atas cukuplah kiranya membuktikan bahwa kebiasaan merokok merupakan suatu perbuatan yang terlarang menurut ajaran Islam. Merokok tidak saja memberikan mudharat bagi pelakunya, tetapi juga bagi orang-orang lain di sekitarnya. Merokok tidak dapat memberikan manfaat apapun bagi pelakunya, sehingga membelanjakan harta untuk rokok termasuk dalam kategori pemborosan (tabdzir) yang sangat dicela oleh Islam.

Perlu ditegaskan di sini bahwa Islam pada dasarnya adalah suatu sistem yang membangun, bukan yang menghancurkan. Islam tidak datang untuk menghancurkan kebudayaan, moral maupun kebiasan-kebiasaan umat manusia, tetapi ia datang untuk memperbaiki kondisi umat manusia. Dengan demikian segala sesuatunya dilihat dari persepektif kesejahteraan umat manusia, apa yang merugikan dihilangkan dan apa yang bermanfaat dikonfirmasikan. Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa Islam adalah suatu sistem yang:

“..menyuruh mengerjakan ma’ruf dan melarang perbuatan mungkar, dan menghalalkan segala cara yang baik dan mengharamkan segala yang buruk…” (QS. 7:157).

Mudah-mudahan kita sekalian diberi kekuatan untuk selalu melakukan apa yang diperintahkan Allah SWT dan RasulNya, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan RasulNya.

Aborsi dalam kesehatan

Ketika hak asasi manusia untuk hidup dan menikmati kehidupan, maka pada saat itulah terjadi sebuah kekejaman yang teamat keji. Terlebih lagi ketika yang dibunuh adalah sesosok bayi mungil dalam kandingan ibundanya yang beberapa waktu ke depan akan tumbuh menjadi bayi yang normal. Entah iblis apa yang membujuk sang ibu ketika diputuskan dicabutnya hak hidup sang bayi ke dunia. Memang pada saat ini tidak dapat dipungkiri ketiadaan pengetahuan dari para wanita muda calon ibu yang memang banyak tidak menyadari bahaya dan risiko yang harus ditanggung ketika harus memutuskan melakukan aborsi pada bayi yang sedang dikandungnya. Karena memang porsi aborsi yang saat ini cukup marak terjadi seperti tertulis pada buku Facts of Life oleh Brian Clowes, Phd adalah pada golongan wanita di Amerika berusia di bawah 25 tahun. Bahkan dari 24% dari mereka adalah wanita remaja di bawah 19 tahun Memang tidak dapat dipungkiri terdapat perbedaan dari berbagai variabel antara penduduk Indonesia dan Amerika, akan tetapi data ini bisa dijadikan pertimbangan karena memang secara umum Indonesia belum memiliki data aborsi karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Secara umum, definisi aborsi adalah menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah abortus yang berarti mengeluarkan hasil konsepsi (pertemuan sel sperma dan ovum) sebelum janin dapat hisup di luar kandungan. Frekuensi aborsi di Indonesia agak sulit dihitung secara akurat karena memang sangat jarang pada akhirnya dilaporkan. Berdasarkan perkiraan BKKBN, kejadian aborsi di Indonesia mencapai angka yang amat fantastis yakni sekitar 2 juta kasus aborsi per tahun. Fakta aborsi di Indonesia1997 akibat kehamilan yang tidak direncanakan 1.000.000 janin dibunuh pertahun.Agustus 1998 penelitian Jawa Post 1.750.000 janin dibunuh pertahun. Februari 2000 menteri peranan wanita waktu itu, Chofifah di Madura mengatakan 2.000.000 janin dibunuh pertahun. April 2000, Makasar Post menulis 2.300.000 janin dibunuh pertahun. Mei 2000, Manado Post memperkirakan 2.600.000 janin dibunuh pertahun. Media Indonesia 2 Oktober 2002 melaporkan saat itu 3.000.000 janin dibunuh pertahun. Memang yang ada hanya angka-angka yang berupa data statistik, namun kita seharusnya dapat menganalisa secara lebih mendalam bahwa dari angka yang teramat besar itulah nyawa-nyawa bayi-bayi mungil yang tidak berdosa dipaksa untuk mati dengan dibunuh secara keji. Sungguh tingkat pembunuhan yang sangat terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan peristiwa peperangan ataupun peristiwa kematian akibat penyuakit di suatu negara yang bahkan tidak sampai setengahnya dibandingkan dengan tingkat aborsi. Secara total dalam sejarah dunia pun, jumlah kematian karena aborsi jauh melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua perang jika digabung sekaligus.

Selain dari keselamatan bayi, keselamatan wanita hamil yang melakukan aborsi juga sangat mengkhawatirkan dan memiliki risiko kematian cukup besar. Angka kematian ibu akibat aborsi mencapai sekitar 11 % dari angka kematian ibu hamil dan melahirkan yang di Indonesia mencapai 390 per 100.000 kelahiran hidup. Sekali lagi angka tersbut merupakan angka resmi dari pemerintah sementara untuk kasus aborsi ilegal jumlahnya jauh lebih fantastis.

Bagaimana pula dengan petugas medis yang tampak tidak merasa bersalah ketika membantu proses aborsi berlangsung bahkan menjadikannya sebagai komoditi jasa yang menjanjikan pendapatan yang cukup besar. Sampai saat ini memang cukup banyak praktik aborsi yang bahkan sebagian besar ilegal.

Seberapa pentingkah peran peraturan perundang-undangan dikaitkan dengan fenomena aborsi ilegal yang melanda bangsa ini? Kendati RUU yang mulai akan dibahas di DPR secara tersurat dimaksudkan untuk melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab sebagaimana termaktub dalam pasal 56 ayat 1, namun secara tersirat hal ini jelas sebagai upaya mengamankan para profesional medis dari tuntutan hukum atas tindakan aborsi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Dr. P.Y. Kusuma, DSOG, yang cukup lama berkecimpung di bagian kandungan dan kebidanan. Dengan tegas Dr. Kusuma menyatakan, Legalisasi tidak mencegah aborsi, justru meningkatkan tindak aborsi. Sebagai contoh kasus, pada tahun 1972 ketika aborsi masih ilegal di Amerika Serikat, tercatat angka 100.000 aborsi ilegal.

Secara umum RUU tersebut memang terbatas dalam tataran setelah terjadinya kehamilan yang memang dalam konteks tersebut sebagian besar karena hasil dari hubungan seks di luar nikah. Seharsusnya kita juga melihat permasalahan secara lebih komprehensif mengapa sampai terjadi hubungan seks di luar nikah? Begitu pula dengan kembali mempermasalahkan dampak yang lebih besar lagi ketika aborsi dilakukan terutama ketika alasan aborsi menyangkut masalah ekonomi. Solusi yang lain mungkin jauh lebih efektif daripada harus membahayakan keselamatan ibu atau setidaknya menghindari penderitaan psikologis dan harus membunuh jiwa yang tak berdosa. Kelahiran seorang bayi adalah anugerah yang teramat luar biasa dari Allah. Aborsi bukanlah jalan keluar karena setidaknya banyak alternatif yang bisa diharapkan untuk menjamin perkembangan bayi tersebut. Seperti membiarkan bayi tersebut diadopsi oleh orang lain misalnya, hal tersebut cukup bijak demi kebaikan bersama.

Dari sudut pandang Islam bahkan jauh lebih tegas lagi mengenai permasalahn aborsi. Dalam alquran cukup banyak dalil yang mendukung untuk tidak melaukan aborsi seperti daalam QS. 5: 32 yang artinya �Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena sebab-sebab yang mewajibkan hukum qishash, atau bukan karena kerusuhan dimmuka bumi, maka seakan-akan dia elah mambunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelaihara keselamatan nyawa seorang nyawa manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara keselatmatan nayaea manusia seluruhnya.� Sementara dalil lain yang melarang melakukan aborsi dengan alasan biaya untuk kehidupan bayi ada pada QS. 17.31 yang artinya Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena tekut melarat. Kamilah yang memberi rizki kepada meraaka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar. Sangat jelas dantegas sekali makna secara tersurat maupun tersirat dalam ayat-ayat tersebut yang melarang adanya praktik-praktik aborsi. Yang mendewsak dilakukan sekarang ini adalah bagaimana memerangi dan melawan arus ghowzul fikri yang terus-menerus mendera umat ini agar dapat segera bangkit dari keterpurukan moral. Generasi muda harus segera dibangunkan dari tidurnya yang lelap sehinmgga peradaban Islam yang ikhsan dapat tercipta dan secara spesifik pola pergaulan bebas dapat semaik direduksi dan dijauhkan dari generasi muda.

Menggugat Bahan Haram Dalam Obat

Bagi umat Islam mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyib merupakan bagian dari perintah agama. Demikian juga meninggalkan makanan yang haram adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kesadaran masyarakat muslim terhadap perkara yang wajib ini tak perlu dipertanyakan lagi, karena sudah menjadi suatu pedoman hidup.

Sebagai konsumen produk pangan, sudah seharusnya umat Islam mendapatkan jaminan dari para produsen atas kehalalan produk-produk pangan yang beredar di komunitas muslim. Faktanya, Konsumen sulit untuk mengetahui apakah suatu produk mengandung bahan haram ataukah tidak, kecuali bila produk tersebut mendapatkan sertifikat halal dari lembaga berwenang di dalam atau di luar negeri. Meski begitu, tidaklah berarti produk tak bersertifikat halal semuanya mengandung bahan haram. Selain produk pangan, ada produk lainnya yang status kehalalannya belum menjadi perhatian masyarakat yaitu produk obat-obatan, khususnya obat yang digunakan dengan cara ditelan atau diminum.

Hingga saat ini penulis belum pernah melihat obat resep dokter yang berlabel halal. Bagaimanapun juga obat yang ditelan pada hakekatnya adalah makanan. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh para perintis ilmu kedokteran seperti Hipokrates ataupun Ibnu Sina (Avisena) bahwa obat adalah makanan dan makanan pun adalah obat. Jelas sekali obat dan makanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu maka status kehalalan obat-obatan terutama yang ditelan adalah wajib adanya bagi kaum muslim.

Sekarang ini untuk produk minuman dan makanan olahan, sertifikasi kehalalannya sudah diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1996. Sertifikat halal ini diberikan setelah suatu produk pangan diperiksa oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), melalui proses audit yang ketat dalam hal asal-usul bahannya, komponen campurannya maupun proses produksinya. Namun, sayang sekali pada prakteknya sertifikasi halal produk pangan ini tidak diwajibkan kepada tiap produsen, tetapi hanya bersifat sukarela bergantung kepada kemauan produsen apakah mau ataukah tidak untuk mendapatkan sertifikat halal.

Dan yang lebih disayangkan lagi adalah karena sertifikasi halal ini belum menyentuh kepada produk obat-obatan resep dokter. Sepertinya masyarakat kita sampai saat ini masih sangat-sangat permisif terhadap status halalnya obat-obatan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat bahan-bahan yang berasal dari barang yang haram, misalnya babi. Sikap permisif ini barangkali karena adanya pemahaman tentang Hukum Darurat yang kurang terkontrol. Padahal dalam ajaran Islam, darurat itu ada batasannya.

Memang benar bahwa barang yang haram itu bisa menjadi halal bila dalam keadaan yang sangat darurat, sebagaimana halnya bangkai hewan, darah ataupun daging babi yang bisa halal dimakan bila dalam keadaan darurat (Alquran Surat Al-Baqarah : 173). Namun dalam kasus obat-obatan sepertinya hukum darurat ini kesannya terlalu diperlebar dan berlebihan, sehingga bahan obat apapun akan dianggap halal tanpa kecuali, karena berlindung di balik tameng darurat. Kalau kita menyimak prinsip hukum darurat yang digambarkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist, sebenarnya hukum darurat itu diterapkan hanya bila dalam keadaan yang sangat terpaksa saja.

Sebagaimana juga dalam masalah dihalalkannya bangkai hewan, yaitu bilamana minimal dalam sehari semalam (misalnya di tengah gurun pasir) tidak menemukan makanan apapun, kecuali hanya bangkai binatang itu saja satu-satunya. Namun mengkonsumsinya pun tidak boleh berlebihan, tapi sekedar untuk bisa bertahan hidup. Adapun dalam hal obat-obatan resep dokter, dengan semakin majunya bidang farmasi, maka banyak sekali variasi dan jenis obat-obatan yang umumnya berasal dari bahan yang tidak haram. Dengan demikian masyarakat ataupun para dokter mempunyai banyak pilihan atau alternatif dalam menentukan jenis obat yang tepat dan rasional untuk diresepkan bagi pasiennya.

Bahan haram dalam obat.

1.Unsur Babi (Porcine)
Menurut ahli farmasi bahwa bahan-bahan aktif obat pada merk obat tertentu, bila diteliti lebih jauh ada yang menggunakan bahan baku yang diharamkan di dalam ajaran Islam, misalnya babi. Sebagai contoh, ada obat suntik merk tertentu untuk mengobati penyakit kencing manis (diabetes melitus) yang berasal dari hormon insulin babi (porcine).

Sementara itu banyak pula obat suntik lainnya yang khasiat dan fungsinya sama untuk kecing manis, tetapi tidak berasal dari porcine atau babi. Lantas apakah masih bisa diyakini bahwa obat yang berasal dari babi itu masih halal digunakan dengan alasan darurat, padahal ada obat lainnya yang halal ? Bila hukum darurat ini dipahami dengan sebenarnya, maka pasti tidak akan ada muslim yang berani menghalalkan obat yang berasal dari babi ini, karena dasar untuk hukum daruratnya saat ini tidak terpenuhi.

Hal ini mengingat masih banyak pilihan merk obat lainnya yang tidak mengandung unsur babi. Oleh karena itu pemahaman yang berasumsi bahwa benda apapun akan halal dikonsumsi bila untuk obat, haruslah segera ditinggalkan jauh-jauh karena tidak sesuai dengan Syariah. Selama ini umumnya masyarakat tidak mengetahui dari apa saja dibuatnya bahan aktif suatu obat. Demikian juga pada brosur obat-obatan yang ada, produsen obat biasanya tidak menjelaskan asal-usul bahan aktif dan bahan penyerta pada produk obatnya secara lengkap. Para dokter pun mungkin belum tentu semuanya mengetahui asal-usul dibuatnya bahan dasar semua obat-obatan.

Hal ini karena di dalam kurikulum pendidikan dokter, masalah asal-usul bahan dasar pada setiap jenis obat ini tidak dibahas secara lengkap. Dalam materi kuliah tentang obat bagi mahasiswa kedokteran memang lebih ditekankan kepada mempelajari masalah mekanisme kerja obat di dalam tubuh, termasuk dalam hal khasiat obat, reaksi kimia, dosis, efek samping dll. Sedangkan masalah teknologi bahan obat maupun teknis pembuatan obat tidak dipelajari lebih jauh, karena masalah ini adalah bidangnya kalangan farmasi. Oleh karena itu para ahli farmasi muslim perlu sekali menjelaskan, bahan aktif obat apa saja yang berasal dari bahan-hahan yang haram, agar umat Islam mudah untuk menghindarinya. Hal ini mengingat bahwa obat-obatan itu umumnya adalah produk impor dari luar negeri, yang diciptakan atau diformulasikan oleh ilmuwan yang belum tentu mengenal masalah halal dan haram.

2. Alkohol (Etanol)
Bahan obat lainnya yang mungkin masih dianggap darurat adalah alkohol (etanol) yang biasa dipakai sebagai pelarut pada obat-obatan sirup jenis tertentu. Masalah alkohol ini memang ada perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslimin tentang status halal dan haramnya di dalam obat, terutama dalam penggunaan untuk campuran obat-obat sirup. Namun, perlu juga kita ketahui, hasil rapat Komisi Fatwa MUI tahun 2001 menyimpulkan bahwa minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol minimal 1 % (satu persen).

Menurut analisis para pakar, memang minuman beralkohol (etanol) di atas 1% akan berpotensi memabukkan. Hal ini merujuk pada keterangan hadis Rasulullah SAW riwayat Muslim dan Ahmad. Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang meminum air jus buah-buahan yang sudah didiamkan lebih dari 2 (dua) hari karena bisa memabukkan (khamar). Menurut pakar teknologi pangan, memang air jus buah yang didiamkan lebih dari 2 hari di dalam suhu kamar akan menghasilkan alkohol (etanol) dengan kadar sekitar 1 %.

Dengan adanya patokan 1 % ini, maka akan mudahlah bagi kita untuk memilih dan menentukan apakah suatu produk obat sirup itu dikatagorikan sebagai minuman keras atau bukan. Pembatasan kadar alkohol ini sangat perlu dan dimaksudkan untuk mencegah, karena prinsip Islam itu adalah mencegah ke arah yang haram.

Pada acara muzakarah tentang alkohol dalam minuman yang diselenggrakan MUI pada tahun 1993, dr Kartono Muhammad MPH, selaku ketua umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat itu, mengatakan bahwa fungsi alkohol dalam obat yang diminum sudah dapat digantikan dengan bahan lain sehingga disarankan untuk mencari alternatif pengganti alkohol dengan jenis pelarut lainnya yang lebih aman secara Syariah.

Kenyataan yang ada di masyarakat sekarang ini tidak sedikit obat-obatan sirup tertentu yang mengandung kadar alkohol yang lebih dari batas 1 %, baik obat resep dokter maupun obat yang dijual bebas. Akan tetapi ternyata merk obat sirup yang tanpa alkohol ataupun yang alkoholnya kurang dari 1%, jumlahnya jauh lebih banyak dari pada obat sirup yang berkadar alkohol lebih dari 1%. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan darurat untuk menghalalkan obat sirup yang kadar alkoholnya lebih dari 1 %, karena masih banyak pilihan obat lainnya baik yang berbentuk sirup maupun pil atau serbuk puyer yang memang tanpa alkohol.

Bila alkohol atau etanol ini berada pada campuran obat-obatan antiseptik untuk pemakaian pada tubuh bagian luar atau permukaan kulit, dan bukan untuk diminum, tentunya masih bisa dimaklumi. Meskipun larutan antiseptik kulit umumnya berkadar alkohol 70 %, hal ini tidak perlu untuk dipermasalahkan, karena obat luar ini tidak untuk diminum. Bila melihat dalilnya di dalam Alquran maupun hadis bahwa khamar (minuman keras) itu hanyalah haram untuk diminum. Tetapi, bila minuman keras ini hanya disentuh atau dioleskan ke permukaan kulit maka tidak akan menjadikannya haram. Mungkin untuk masalah ini masih terdapat perbedaan pendapat di antara kaum muslimin.

Oleh karena itu walaupun larutan antiseptik ini kadar alkoholnya hingga 70 % dan sangat berpotensi memabukkan atau bahkan bisa mematikan bila diminum, tapi tidaklah terlarang untuk dioleskan ke kulit yang luka. Jatuhnya hukum haram itu apabila larutan memabukkan ini diminum, dan bukannya dioleskan ke kulit. Dengan demikian, penggunaan alkohol yang berkadar lebih dari 1 % untuk penggunaan antiseptik di permukaan kulit yang terinfeksi atau luka, masih bisa diterima oleh dalil Syariah.

Lantas bagaimanakah hukumnya meminum minuman keras (khamar) untuk tujuan pengobatan menurut pandangan para fuqoha? Di dalam kitab Fikih Sunnah Sayyid Sabiq dikatakan bahwa dahulu pada zaman jahiliyah, ada orang-orang yang biasa meminum arak dengan dalih untuk pengobatan. Namun setelah datang ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, mereka dilarang menggunakannya dan sekaligus diharamkan meminumnya meskipun untuk tujuan pengobatan.

Imam Ahmad, Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Thariq bin Suaid Al Ju'fie, bahwasanya Suaid menanyakan kepada Rasulullah SAW mengenai khamar, lalu Rasulullah SAW melarangnya. Kemudian ia menjelaskan kepada Rasulullah bahwa minuman keras ini dibuatnya untuk pengobatan, lalu beliau bersabda : ''Sesungguhnya khamar itu bukan obat, tapi justru penyakit.''

Dalam hal obat yang berpotensi memabukkan, barangkali hanya obat bius (anestesi) saja yang bisa dikatagorikan darurat. Bagaimanapun juga, sesungguhnya orang yang dibius di kamar operasi bedah itu, pada dasarnya adalah orang yang sengaja dibuat mabuk hingga tak sadarkan diri, hanya saja mabuknya terkendali.

Namun status darurat bagi obat bius pun ada batasannya. Tentu saja batasannya adalah: siapa yang memakainya dan untuk apa tujuannya. Dengan demikian status darurat obat bius ini hanyalah berlaku bila digunakan oleh ahlinya untuk tujuan pengobatan yang rasional, dan bukan untuk drug abuse atau penyalahgunaan obat, seperti untuk teler atau mabuk-mabukan. Oleh karena itu hukum darurat obat bius ini akan berlaku bila pemakaiannya bukan untuk perilaku yang bertentangan dengan aturan Allah SWT.

3. Plasenta dan air kemih
Akhir-akhir ini organ tubuh yang disebut plasenta sedang tren digunakan dalam produk kosmetika maupun obat tertentu. Plasenta atau disebut juga ari-ari, adalah jaringan yang tumbuh di dalam rahim wanita ketika hamil, yang merupakan penghubung antara janin yang dikandung dengan ibu hamil yang mengandungnya. Plasenta ini berfungsi untuk menyalurkan zat-zat makanan, air, oksigen, dan zat-zat lainnya dari darah ibu hamil ke darah janin. Sebaliknya plasenta juga berfungsi untuk membuang karbondioksida, sisa metabolisme atau sampah, serta zat-zat lainnya dari janin ke tubuh ibu hamil.

Plasenta atau ari-ari ini memang selalu ditemukan pada semua makhluk hidup jenis mamalia yang sedang hamil, dan akan lepas dibuang dari rahim ketika melahirkan setelah keluarnya bayi. Adapun plasenta yang sering digunakan untuk kosmetika atau produk kesehatan tersebut, bisa berasal dari plasenta hewan atau dari plasenta manusia.

Sebagaimana diketahui bahwa sekarang ini pada layar televisi sering dijumpai iklan produk kecantikan atau produk untuk kesehatan yang tanpa kita sadari menggunakan plasenta sebagai salah satu bahan aktifnya. Plasenta dalam bentuk krim yang dioleskan ke permukaan kulit maupun dalam bentuk pil yang ditelan, diyakini dapat berfungsi untuk regenerasi sel-sel kulit sehingga dapat mempertahankan kulit agar tetap sehat, segar, muda dan cantik. Tidak hanya itu, plasenta juga diyakini mampu mengembalikan kemulusan kulit akibat luka atau penyakit kulit. Tetapi dari manakah plasenta ini berasal?

Menurut ahli farmasi, yang paling banyak digunakan oleh industri obat-obatan di luar negeri, justru adalah plasenta manusia yang diperoleh dari berbagai rumah sakit bersalin di sana. Kalaupun plasentanya berasal dari hewan, tentunya konsumen pun tidak akan tahu hewan apa yang diambil plasentanya, apakah babi, sapi ataukah apa? Dalam ingredien atau daftar komposisi pada kemasan produk obat berplasenta ini memang biasanya tidak disebutkan asal-usul plasentanya.

Meskipun kebanyakan penggunaan plasenta manusia ini bukan untuk produk pangan, akan tetapi penggunaan organ tubuh atau setidaknya penggunaan bagian dari kehidupan manusia ini telah menimbulkan pro dan kontra. Selain dari segi peradaban, sebetulnya yang lebih penting bagi umat Islam adalah halal atau tidaknya penggunaan plasenta maupun jaringan tubuh manusia lainnya bila dikonsumsi untuk tujuan pengobatan.

Demikian pula pengobatan tradisional dengan cara meminum air kencing (urine) yang keluar dari alat kelamin orang yang meminumnya, telah menjadi kontroversi di kalangan umat Islam, mengingat air kencing menurut ajaran Islam termasuk benda yang najis. Di kalangan medis pun terapi air seni atau urine ini masih mengundang pro dan kontra.


Namun, apa pun khasiat yang bisa ditemukan di dalam air kencing ini, bagi umat Islam tak ada alasan darurat untuk meminumnya selama masih ada obat lainnya yang bisa digunakan. Apalagi kalau meminum air seni dari tubuhnya sendiri ini hanya sekedar untuk mencoba-coba saja, maka harus dihindarkan oleh kaum muslim. Sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama menyoroti masalah pengobatan tradisional dengan air seni maupun tentang penggunaan plasenta manusia pada obat dan kosmetika. Untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat luas dan menghindari kesalah pahaman, secara khusus MUI dalam Munas tahun 2000 yang lalu telah membahas masalah plasenta manusia dan terapi urine ini. Dalam Keputusan Fatwa MUI nomor: 2/Munas /VI/ MUI/ 2000 ditetapkan bahwa :

1. Yang dimaksud dengan :
(a) Penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, dan bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh.
(b) Penggunaan air seni adalah meminumnya sebagai obat.
(c) Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan tubuh dan kulit, agar tetap atau menjadi baik dan indah.
(d) Al-Istihalah adalah perubahan suatu benda menjadi benda lain yang berbeda dalam semua sifat-sifatnya dan menimbulkan akibat hukum dari benda najis atau mutanajis menjadi benda suci dan dari benda yang diharamkan menjadi benda yang dibolehkan (mubah).

2. Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ tubuh manusia, hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli terpercaya.
3. Penggunaan air seni manusia hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli terpercaya.
4. Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram. Kecuali setelah masuk ke dalam proses Istihalah.
5. Menghimbau kepada semua pihak agar sedapat mungkin tidak memproduksi dan menggunakan obat-obatan atau kosmetika yang mengandung unsur bagian organ manusia atau berobat dengan air seni manusia.

Dengan adanya fatwa MUI tersebut, maka jelaslah bahwa pemakaian air kencing manusia dan plasenta manusia ini bila tidak dalam status darurat, maka hukumnya adalah haram bagi umat Islam. Apalagi bila masih ada obat-obat lain yang masih bisa digunakan, maka penggunaan air kencing maupun plasenta manusia sebagai obat, tidak ada dasar kedaruratannya. Kalaupun memang darurat, maka ukuran kedaruratannya ini tidak bisa hanya berdasarkan perasaan seseorang belaka, tetapi harus berdasarkan pertimbangan obyektif dari beberapa orang ahli kesehatan yang berkompeten, sekurang-kurangnya dari 3 (tiga) orang ahli.

Jadi, kondisi darurat ini tidak bisa hanya berdasarkan kepada pertimbangan satu orang ahli saja. Adapun ukuran darurat ini menurut pakar hukum Syariah adalah ancaman nyawa atau kematian. Artinya bila menurut pertimbangan dari minimal 3 orang dokter ahli, misalnya dinyatakan bahwa seorang pasien akan berisiko meninggal dunia bila tidak segera meminum air kencingnya atau obat berplasenta, sementara tidak ada satu pun obat lainnya yang bisa digunakan, maka status air kemih atau plasenta ini akan menjadi halal bagi orang tersebut pada saat itu.

Namun bila ternyata masih ada obat lainnya yang bisa digunakan, maka sifat kedaruratan air seni atau obat berplasenta ini menjadi batal atau tidak syah secara hukum Syariah alias haram. Bagi kaum muslim, sudah seharusnya saat ini untuk berhati-hati dalam membeli produk-produk yang kemungkinan mengandung plasenta manusia, minimal dengan membaca komposisi bahan-bahan yang tertulis di dalam kemasannya. Tentunya hal ini akan menambah kewaspadaan agar tidak terjebak oleh produk yang haram untuk dikonsumsi.

Menurut seorang pakar farmasi yang juga staf ahli di LPPOM-MUI, sekarang ini di pasaran ada beberapa obat pil atau kapsul merk tertentu yang bahan aktifnya terbuat dari plasenta manusia. Di antaranya adalah obat perangsang atau pelancar air susu ibu (ASI). Penggunaan obat ini yaitu untuk menstimulasi aktifitas kelenjar air susu ibu, agar setelah melahirkan produksi ASI-nya meningkat. Namun perlu juga diketahui bahwa masih ada obat jenis lain yang khasiatnya serupa tapi tidak mengandung plasenta manusia.

Sesungguhnya obat-obatan yang dijual bebas maupun obat resep dokter itu banyak sekali jenis dan variasinya. Dengan demikian maka banyak sekali alternatif yang bisa dipilih oleh masyarakat atau oleh dokter dalam menuliskan resepnya. Oleh karena itu sekarang ini tidak ada alasan darurat bagi umat Islam untuk meminum air kencingnya sendiri maupun menggunakan bahan yang mengandung plasenta manusia dengan dalih untuk pengobatan.

Obat Berlabel Halal
Dengan semakin banyaknya variasi dan jenis obat, maka obat-obatan yang berasal dari bahan yang haram atau memabukkan (kecuali obat bius), sudah seharusnya ditinggalkan oleh umat Islam. Selama masih ada alternatif obat lainnya yang halal, maka tidak ada alasan darurat bagi pemakaian obat-obatan yang mengandung bahan haram. Berhubung banyaknya obat-obatan yang diragukan dan tidak dijamin kehalalannya, maka sekarang sudah saatnya Departemen Agama, Departemen Kesehatan RI dan MUI membahas masalah status halal bagi obat-obatan. Apalagi sekarang ini populasi berbagai jenis obat cukup banyak seiring dengan semakin majunya bidang farmasi dan hampir setiap tahun selalu hadir berbagai merk obat-obatan yang baru.

Terlebih lagi karena obat-obatan itu umumnya adalah produk dari luar negeri yang belum dijaminan kehalalannya, maka perlu sekali adanya perlindungan bagi kalangan konsumen umat Islam agar tidak terjebak mengkonsumsi produk yang haram. Kalaulah produk makanan dan minuman bisa diberikan label halal, mengapa produk obat-obatan yang diminum atau ditelan tidak diberi sertifikat halal? Padahal pada hakekatnya obat itu adalah makanan dan makanan pun adalah obat. Obat dan makanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

Oleh karena itu kepastian dan jaminan halalnya produk pangan khususnya obat-obatan di Indonesia yang mayoritas muslim ini, sudah selayaknya diprioritaskan oleh produsen dan diatur oleh pemerintah. Penulis sebagai muslim sekaligus sebagai tenaga medis, secara pribadi sangat mengharapkan sekali dan menantikan hadirnya obat-obatan yang bersertifikat halal atau ada jaminan kehalalannya. Bila hal ini terealisasi maka tidak akan ada lagi keraguan ketika menuliskan resep obat apapun. Semoga saja sertifikasi halal bagi obat-obatan, khususnya jenis obat yang diminum atau ditelan, baik obat resep dokter maupun obat bebas, akan menjadi kenyataan di kelak kemudian hari. Rasulullah Saw bersabda : "Setiap daging (jaringan tubuh) yang tumbuh dari makanan haram, maka api nerakalah baginya." (HR At-Tirmidzi)

Aborsi dalam Hukum Islam

Pertama-tama harus dideklarasikan bahwa aborsi bukanlah semata masalah medis atau kesehatan masyarakat, melainkan juga problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang dianut suatu masyarakat. Paham asing ini tak diragukan lagi telah menjadi pintu masuk bagi merajalelanya kasus-kasus aborsi, dalam masyarakat mana pun. Data-data statistik yang ada telah membuktikannya. Di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat, dua badan utama, yaitu Federal Centers for Disease Control (FCDC) dan Alan Guttmacher Institute (AGI), telah mengumpulkan data aborsi yang menunjukkan bahwa jumlah nyawa yang dibunuh dalam kasus aborsi di Amerika — yaitu hampir 2 juta jiwa — lebih banyak dari jumlah nyawa manusia yang dibunuh dalam perang mana pun dalam sejarah negara itu. Sebagai gambaran, jumlah kematian orang Amerika Serikat dari tiap-tiap perang adalah: Perang Vietnam 58.151 jiwa, Perang Korea 54.246 jiwa, Perang Dunia II 407.316 jiwa, Perang Dunia I 116.708 jiwa, Civil War (Perang Sipil) 498.332 jiwa. Secara total, dalam sejarah dunia, jumlah kematian karena aborsi jauh melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua perang jika digabungkan sekaligus (www.genetik2000.com).

Data tersebut ternyata sejalan dengan data statistik yang menunjukkan bahwa mayoritas orang Amerika (62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain, sah-sah saja dilakukan. Mereka beralasan toh orang lain melakukan hal yang serupa dan semua orang melakukannya (James Patterson dan Peter Kim, 1991, The Day America Told The Thruth dalam Dr. Muhammad Bin Saud Al Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, 1995, hal. 19).

Bagaimana di Indonesia ? Di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, sayang sekali ada gejala-gejala memprihatinkan yang menunjukkan bahwa pelaku aborsi jumlahnya juga cukup signifikan. Memang frekuensi terjadinya aborsi sangat sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan kecuali jika terjadi komplikasi, sehingga perlu perawatan di rumah sakit. Akan tetapi, berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu (Aborsi.net). Pada 9 Mei 2001 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (waktu itu) Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dalam Seminar “Upaya Cegah Tangkal terhadap Kekerasan Seksual Pada Anak Perempuan” yang diadakan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim di FISIP Universitas Airlangga Surabaya menyatakan, “Angka aborsi saat ini mencapai 2,3 juta dan setiap tahun ada trend meningkat.” (www.indokini.com). Ginekolog dan Konsultan Seks, dr. Boyke Dian Nugraha, dalam seminar ”Pendidikan Seks bagi Mahasiswa” di Universitas Nasional Jakarta, akhir bulan April 2001 lalu menyatakan, setiap tahun terjadi 750.000 sampai 1,5 juta aborsi di Indonesia (www.suarapembaruan.com).

Dan ternyata pula, data tersebut selaras dengan data-data pergaulan bebas di Indonesia yang mencerminkan dianutnya nilai-nilai kebebasan yang sekularistik. Mengutip hasil survei yang dilakukan Chandi Salmon Conrad di Rumah Gaul binaan Yayasan Pelita Ilmu Jakarta, Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis pada Simposium Menuju Era Baru Gerakan Keluarga Berencana Nasional, di Hotel Sahid Jakarta mengungkapkan ada 42 % remaja yang menyatakan pernah berhubungan seks; 52 % di antaranya masih aktif menjalaninya. Survei ini dilakukan di Rumah Gaul Blok M, melibatkan 117 remaja berusia sekitar 13 hingga 20 tahun. Kebanyakan dari mereka (60 %) adalah wanita. Sebagian besar dari kalangan menengah ke atas yang berdomisili di Jakarta Selatan (www.kompas.com).

Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa aborsi memang merupakan problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang lahir dari paham sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (Abdul Qadim Zallum, 1998).

Terlepas dari masalah ini, hukum aborsi itu sendiri memang wajib dipahami dengan baik oleh kaum muslimin, baik kalangan medis maupun masyarakat umumnya. Sebab bagi seorang muslim, hukum-hukum Syariat Islam merupakan standar bagi seluruh perbuatannya. Selain itu keterikatan dengan hukum-hukum Syariat Islam adalah kewajiban seorang muslim sebagai konsekuensi keimanannya terhadap Islam. Allah SWT berfirman :

“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus perkara yang mereka perselisihkan di antara mereka.” (TQS An Nisaa` 65)

“Dan tidak patut bagi seorang mu`min laki-laki dan mu`min perempuan, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (TQS Al Ahzab 36)

Sekilas Fakta Aborsi
Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan. (JNPK-KR, 1999) (www.jender.or.id) Secara lebih spesifik, Ensiklopedia Indonesia memberikan pengertian aborsi sebagai berikut : “Pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.” Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh (Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260). Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:

1. Aborsi Spontan/ Alamiah atau Abortus Spontaneus
2. Aborsi Buatan/ Sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis
3. Aborsi Terapeutik/ Medis atau Abortus Provocatus Therapeuticum

Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.

Aborsi buatan/ sengaja/ Abortus Provocatus Criminalis adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).

Aborsi terapeutik / Abortus Provocatus therapeuticum adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa (www.genetik2000.com).

Pelaksanaan aborsi adalah sebagai berikut. Kalau kehamilan lebih muda, lebih mudah dilakukan. Makin besar makin lebih sulit dan resikonya makin banyak bagi si ibu, cara-cara yang dilakukan di kilnik-klinik aborsi itu bermacam-macam, biasanya tergantung dari besar kecilnya janinnya.

1. Abortus untuk kehamilan sampai 12 minggu biasanya dilakukan dengan MR/ Menstrual Regulation yaitu dengan penyedotan (semacam alat penghisap debu yang biasa, tetapi 2 kali lebih kuat).
2. Pada janin yang lebih besar (sampai 16 minggu) dengan cara Dilatasi & Curetage.
3. Sampai 24 minggu. Di sini bayi sudah besar sekali, sebab itu biasanya harus dibunuh lebih dahulu dengan meracuni dia. Misalnya dengan cairan garam yang pekat seperti saline. Dengan jarum khusus, obat itu langsung disuntikkan ke dalam rahim, ke dalam air ketuban, sehingga anaknya keracunan, kulitnya terbakar, lalu mati.
4. Di atas 28 minggu biasanya dilakukan dengan suntikan prostaglandin sehingga terjadi proses kelahiran buatan dan anak itu dipaksakan untuk keluar dari tempat pemeliharaan dan perlindungannya.
5. Juga dipakai cara operasi Sesaria seperti pada kehamilan yang biasa (www.genetik2000.com).

Dengan berbagai alasan seseorang melakukan aborsi tetapi alasan yang paling utama adalah alasan-alasan non-medis. Di Amerika Serikat alasan aborsi antara lain :

1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir menggangu karir, sekolah, atau tanggung jawab yang lain (75%)
2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)

Alasan lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Ada orang yang menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Mereka tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam kandungannya.

Alasan-alasan seperti ini juga diberikan oleh para wanita di Indonesia yang mencoba meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada di dalam kandungannya adalah boleh dan benar. Semua alasan-alasan ini tidak berdasar.

Sebaliknya, alasan-alasan ini hanya menunjukkan ketidak pedulian seorang wanita, yang hanya mementingkan dirinya sendiri (www.genetik2000.com). Data ini juga didukung oleh studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest (1998) yang menyatakan bahwa hanya 1% kasus aborsi karena perkosaan atau incest (hubungan intim satu darah), 3% karena membahayakan nyawa calon ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh dengan cacat tubuh yang serius. Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri termasuk takut tidak mampu membiayai, takut dikucilkan, malu, atau gengsi (www.genetik2000.com).

Aborsi Menurut Hukum Islam
Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.

Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.

Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).

Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)

Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al An’aam : 151)

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al Isra` : 31 )

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (TQS Al Isra` : 33)

“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (TQS At Takwir : 8-9)

Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.

Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi menurut pendapat Abdul Qadim Zallum (1998) dan Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniu¬pan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman 45-56; Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).

Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi SAW berikut :

“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah),’Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan ?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud RA)

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :

“(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam…”

Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah sete¬lah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.

Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :

“Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA) (Abdul Qadim Zallum, 1998).

Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.

Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.

Rasulullah SAW telah membolehkan ‘azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak mengingin¬kan budak perempuannya hamil. Rasulullah SAW bersabda kepa¬danya :

“Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka ! ” (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)

Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT :

“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (TQS Al Maidah : 32)

Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasu¬lullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian !” (HR. Ahmad)

Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan :

“Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima”

“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).

Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).

Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.

Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ‘azl. Sebab dalam aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal ‘azl telah dibolehkan oleh Rasulullah SAW. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadits-hadits yang membolehkan ‘azl.

Kesimpulan
Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga problem sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif-fundamental-radikal, yang intinya adalah dengan mencabut sikap taqlid kepada peradaban Barat dengan menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan dengan Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.

Hukum aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika umur kehamilannya sudah 4 (empat) bulan, yakni sudah ditiupkan ruh pada janin. Untuk janin yang berumur di bawah 4 bulan, para ulama telah berbeda pendapat. Jadi ini memang masalah khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Wallahu a’lam [ Ir. Muhammad Shiddiq Al Jawi ]