Rabu, 30 September 2009

agama dan kesehatan

David B Larson, Pakar Kesehatan Amerika telah mengadakan penelitian terhadap orang yang taat beragama dan tidak. Hasilnya sangat mengejutkan. Sebagai contoh, orang yang taat beragama menderita penyakit jantung 60% lebih sedikit, tingkat bunuh diri 100% lebih rendah, dan tekanan darah tinggi jauh lebih sedikit.
(Patrick Glynn, 80-81).

Jurnal ilmiah penting di dunia kedokteran dengan nama International Journal of Psychiatry in Medicine melaporkan bahwa orang yang mengaku dirinya tidak beragama menjadi lebih sering sakit dan mempunyai masa hidup lebih pendek. Mereka yang tidak beragama berpeluang dua kali lebih besar menderita penyakit usus-lambung daripada mereka yang beragama, dan tingkat kematian mereka 66% lebih tinggi daripada mereka yang beragama.

Tidak hanya itu, para pakar psikolog sekuler juga cenderung merujuk kesimpulan yang sama sebagai “dampak kejiwaan”. Ini berarti bahwa keyakinan agama meningkatkan semangat orang, dan hal ini berpengaruh baik pada kesehatan. Penjelasan ini mungkin sungguh beralasan, namun sebuah kesimpulan yang lebih mengejutkan muncul ketika orang-orang tersebut diperiksa.

Keimanan kepada Allah jauh lebih kuat daripada pengaruh kejiwaan apa pun. Penelitian yang mencakup banyak segi tentang hubungan antara keyakinan agama dan kesehatan jasmani yang dilakukan oleh Dr. Herbert Benson dari Fakultas Kedokteran Harvard yang menghasilkan kesimpulan bahwa ibadah dan keimanan kepada Allah memiliki lebih banyak pengaruh baik pada kesehatan manusia daripada keimanan kepada apa pun yang lain. Benson menyatakan, dia telah menyimpulkan bahwa tidak ada keimanan yang dapat memberikan banyak kedamaian jiwa sebagai-mana keimanan kepada Allah. (Herbert Benson, and Mark Stark, 203)

Agar kualitas jiwa manusia selalu searah dengan iman kepada Allah, maka perlu banyak usaha yang dilakukan. Usaha ini tidak hanya lahir saja, namun juga pasa aspek batin yang abstrak. Disebutkan dalam buku “Madrasah Pendidikan Jiwa” para tabi’in mengadakan enam usaha peningkatan jiwa sebagai berikut:
1. Takut kepada Allah
Hawa nafsu yang ganas cenderung menutupi fungsi akal dan mengendalikannya. Dibutuh-kan kekuatan yang besar untuk menghancurkannya. Kekuatan ini berpusat takut kepada Allah, terbukanya segala kesalahan di hari kiamat, dan takut kesengsara-an di akhirat. Allah swt. berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (an-Naazi’aat: 40-41).

Imam Qurthubi menuturkan perkataan Mujahid untuk mengomentari firman Allah pada ayat ini, “Yaitu takutnya di dunia kepada Allah azza wajalla ketika berada di lembah-lembah dosa dan ia terperosok di dalamnya. ‘Dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu’, yaitu menahan dari perbuatan maksiat dan hal-hal yang diharamkan.”

2. Berjiwa Sabar
Jiwa asalnya cenderung menyuruh kepada kejahatan, enggan menetap, terikat, dan senang berpindah-pindah, serta lepas dari kendali. Jiwa juga tidak suka diperintah seseorang terhadap yang dibencinya, atau membatasi gerakannya. Oleh karenanya, ia memberi kecintaan pada pemiliknya untuk santai dan berleha-leha. Allah swt. berfirman, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.”(al-Kahfi: 28)

3. Mengendalikan Nafsu
Surga seolah menjadi tertutup dengan hijab, dan hijab ini bukan dari kulit, sutera, atau jenis-jenis kain penutup lainnya, tetapi terhijab dari hal-hal yang dibenci. Oleh karena itu, penutupnya tidak hanya satu tetapi banyak. Dan hijab yang beragam dengan corak-corak yang beragam, serta warna-warni yang berbeda, karena pada setiap musibah ada warna tersendiri, pada setiap ujian ada corak tersendiri. Maka, tidak mungkin seorang mukmin sampai ke surga, kecuali dengan menyingkap hijab-hijab ini seluruhnya.

Penyingkapan hijab-hijab itu terkadang membutuhkan waktu yang lama. Sulitnya menyingkap hijab dari hal-hal yang dibenci ini, acap kali mendorong pemiliknya untuk bermalas-malasan dan santai. Ridha terhadap aib yang ada pada jiwa mereka dan apa yang dikerjakan, tanpa adanya tambahan amal. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw., “Surga ditutupi (dihijab) dengan hal-hal yang dibenci, dan neraka ditutupi dengan syahwat-syahwat.” (HR Bukhari)

4. Tawakal
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna tawakkal. Namun, pendapat mereka semua bermakna menyerahkan segala sesuatu kepada Allah ta’ala dan dengan keyakinan atas kekuasaan-Nya dapat memenuhi segala kebutuhannya.

Dari Muhammad bin Abi Imran berkata, “Aku mendengar Hatim yang tidak dapat mendengar ditanya seseorang, ‘Dengan apa engkau membangun perkaramu dalam bertawakal kepada Allah?’ Ia berkata, ‘Pada hal-hal berikut: aku tahu bahwa rezekiku tidak akan dimakan oleh selainku, maka tenanglah jiwaku; Aku tahu bahwa amalku tidak akan dikerjakan oleh selainku, maka aku sibuk dengannya; Aku tahu kematian pasti mendatangiku kapan saja, maka aku berisap-siap untuk itu; Aku tahu, aku tidak pernah lepas dari pandangan Allah di mana pun aku berada, maka aku malu kepada-Nya jika terlihat sedang melakukan maksiat.’” Demikianlah Empat hal dasar budi pekerti yang dibangun ulama dalam hal tawakal.

5. Introspeksi Diri
Introspeksi ini tidak mungkin dimulai tanpa perhatian dan siaga terhadap gerak-gerik jiwa ini. Menghinakan sebelum dihinakan orang lain dan tidak mencari aib-aib mereka. Jika pengoreksian diri tidak kita lakukan, niscaya kita hanya melihat kesalahan-kesalahan orang lain dan buta dengan kesalahan diri.

Termasuk dari instropeksi adalah melihat kejahatan diri sendiri ketika melihat ‘keabadian’ dunia dengan segala gemerlapnya. Kita sering terbujuk dengan hiasan dan permak dunia. Inilah peperangan seorang mukmin dengan jiwanya yang menyuruh berlaku jahat dan melupakan nikmat-nikmat surga. Padahal kita semua yakin bahwa dunia hanyalah sesaat dan tiada manusia itu hidup di duia kecuali hanya “mampir ngombe”.

Introspeksi tidak hanya terbatas pada introspeksi terhadap maksiat dan peremehan terhadap bahaya maksiat. Namun, meliputi berbagai hal, sampai pada ketaatan, menjauhi bangga diri, meremehkan orang lain dari kebenaran, dan lain sebagainya. Inilah jenis introspeksi== yang diungkapkan kepada kita dari Ibrahim bin al-Asy‘ats dari ‘Abidil Haramain (Imam Malik) dalam khalwat (menyendiri) bersama jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar