Sabtu, 31 Oktober 2009
Senin, 26 Oktober 2009
Minggu, 18 Oktober 2009
HIV DAN AIDS
A. PENGANTAR
Sindrom cacat kekebalan tubuh atau AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang ditularkan dari seseorang ke orang lain oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus) telah hadir sebagai penyakit menular yang sangat menakutkan dan terus meminta korban. HIV berpindah dari ke orang lain melalui hubungan seksual, homoseksual dan biseksual dari seorang pengidap HIV, transfusi darah, jarum suntik, transmisi vertikal dari ibu kejanin.
Menurut catatan WHO, pada akhir tahun 2002 saja, dilaporkan sebanyak 45 juta kasus HIV. Kasus tertinggi terjadi di Afrika sebesar 28,1 juta kasus, menyusul daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara seperti, India, Thailand, Myanmar, Indonesia, dan lain-lain sebesar 6,1 juta kasus (Aditya, 2007). Menurut Hawari (2003) angka sebenarnya dari kasus HIV/AIDS adalah dikalikan 200, dengan didasarkan asumsi kecepatan penularan HIV tiap menitnya mampu menularkan kepada lima orang. Di Indonesia sendiri kasus HIV pertamakali ditemukan pada tahun 1987 di Bali, pada wisatawan asing dari Belanda. Laporan terbaru pada akhir September 2007 dilaporkan sebanyak 10,384 kasus HIV terjadi di Indonesia, dengan angka tertinggi di DKI Jakarta, sedangkan kasus HIV untuk Propinsi Jawa Timur sebesar 1,043 kasus (Depkes Riau, 2007).
Temuan di atas sangat mengejutkan banyak ahli, selama ini mereka beranggapan bahwa permasalahan HIV untuk konteks Indonesia tidak terlalu merisaukan, karena jumlah kaum homoseksual di Indonesia sebagai transmisi utama penularan HIV/AIDS sangat rendah, selain itu mereka beranggapan bahwa nilai moral dan agama masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat barat, namun booming informasi dari konsekuensi global vilage menyebabkan terjadinya pergeseran nilai di kalangan masyarakat, terutama pada kalangan pelajar dan mahasiswa. Beberapa penelitian melaporkan bahwa hubungan seksual di luar nikah sudah mulai dianggap hal ‘lumrah’ oleh sebagian orang. Bahkan temuan yang ‘menghebohkan’ di kota Jogjakarta yang notabene adalah kota pelajar ‘kumpul kebo’ dan aborsi bayi sudah dianggap hal biasa oleh masyarakat sekitar.
Temuan lain yang sangat mengejutkan para ilmuwan bahwa, pola penularan HIV/AIDS di Indonesia berbeda sama sekali dengan pola penularan di negara barat dan Afrika, bila di negara barat dan Afrika transmisi utama lewat kontak homoseksual dan heteroseksual, untuk wilayah Indonesia transmisi utama disebarkan melalui penggunaan narkotika intravena (intravena drug use), dan hubungan heteroseksual. Berikut ini gambaran umum transmisi utama penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.
Mengingat jumlah penderita yang terus meningkat dari tahun ke tahun, pemerintah mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007-2010, yang isinya dapat diringkas sebagai berikut; 1) penanggulangan HIV/AIDS sebagai prioritas nasional, 2) penanggulangan dilaksanakan melalui gerakan nasional, 3) memberi dukungan dana secara nasional, 4) memperkuat gerakan nasional penanggulangan HIV/AIDS. (Dinas Kesehatan Riau, 2007)
Akibat dari kebijakan tersebut, dapat dipastikan hampir sebagian besar orang saat ini, sudah mengetahui apa dan bagaimana HIV/AIDS, terutama pada aspek pencegahan dan penularan HIV/AIDS. Artikel-artikel dalam Bahasa Indonesia mengenai HIV/AIDS dengan mudah didapatkan, walaupun harus kita akui hanya terbatas pada artikel-artikel yang berkaitan dengan pencegahan penularan HIV/AIDS. (patut dipertanyakan pengetahuan yang baik mengenai HIV/AIDS agaknya tidak diiiringi dengan perilaku yang tepat, banyak perilaku masyarakat yang cenderung berisiko mis; penggunaan narkoba, free seks, dll)
Berdasarkan pertimbangan di atas, pada makalah ini saya mengangkat artikel yang berjudul “HIV DAN AIDS” .
Pada makalah ini, saya menyajikan urutan penulisan makalah sebagai berikut, pada bagian awal saya mencoba menceritakan kembali isi artikel yang telah saya sebutkan di atas, pada bagian selanjutnya (pembahasan) saya mencoba menganalisis kritis isi artikel, sekaligus mencoba melengkapi informasi-informasi dari sumber bacaan lain yang saya anggap ‘kurang’ dijelaskan oleh artikel ini.
BAB I
ISI
Hubungan antara HIV dengan sistem kekebalan tubuh merupakan topik yang banyak menyita perhatian ilmuan-ilmuan dunia. Beberapa temuan penelitian mutakhir menyakinkan bahwa ‘replikasi berujung pada mutasi HIV’-lah yang banyak menyebabkan ‘rusaknya’ sel-sel sistem kekebalan tubuh setiap harinya. Pertumbuhan HIV berjalan sangat lambat, biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun tergantung pada kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mem-blokir laju replikasi HIV. Sayangnya bagaimanapun ’luar biasanya’ kemampuan sistem kekebalan tubuh bekerja, suatu saat akan mengalami ‘kekalahan’ juga oleh HIV, keadaan seperti ini disebut dengan full Blown AIDS.
Pada artikel ini penulis (Nowak dan McMichael), menjelaskan bagaimana HIV mampu ’menghindar’ dari respon ’pembantaian’ sistem kekebalan tubuh melalui bantuan evolutionary hypotesis (teori evolusi). Sekaligus penjelasan ini, akan memberikan ‘rasionalisasi’ dari karakteristik (typically) HIV yang khas yaitu, membutuhkan waktu yang sangat lama, dari saat mulai terinfeksi HIV sampai dengan tahap AIDS (kita ketahui jarak waktu antara infeksi HIV sampai dengan AIDS antara sepuluh tahun bahkan lima belas tahun lebih).
Nowak dan McMichael percaya bahwa kekuatan respons sistem kekebalan tubuh tergantung pada kesehatan seseorang. Pada kasus infeksi HIV, pada awalnya sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal dan sangat baik, namun karena mutasi HIV yang terus-menerus, menyebabkan variant-variant HIV (mutant HIV) menjadi melimpah, keadaan ini mengakibatkan sistem kekebalan tubuh ‘kesulitan’ bahkan ’gagal’ mengenali varian-varian HIV tersebut. Di sisi lain varian-varian HIV (mutant-mutant HIV) ini terus menyerang sistem kekebalan tubuh. Jika hal ini berlangsung terus menerus, dalam waktu tidak lama sistem kekebalan tubuh akan bekerja tidak efektif dan akhirnya akan mengalami ‘kekalahan’.
Untuk memahami hal tersebut, Nowak dan McMichael memandang perlu untuk diketahui oleh pembaca bagaimana sistem kekebalan tubuh bekerja ‘membasmi’ virus secara umum, dan bagaimana respon sistem kekebalan tubuh jika virus itu adalah virus HIV.
1. Perkelahian dalam Sistem Kekebalan Tubuh
Jika virus masuk ke dalam tubuh atau sel, sistem kekebalan tubuh dengan segera menuju sel yang terinfeksi, makropage dengan bantuan sel-sel lain akan menelan partikel virus tersebut dan menghancurkanya dalam bentuk fragmen-fragmen kecil peptida (protein fragment), peptida ini kemudian dikenali oleh protein yang disebut dengan HLAs (human leukocyte antigents). Setelah tahap ini, proses kemudian berlangsung sangat rumit dengan melibatkan sel darah putih yang biasa disebut helper T-lympocyte.
Setiap helper sel membawa reseptor yang mampu mengenali peptida atau epitope (peptida virus yang telah dihancurkan oleh macrophage). Jika sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal, helper cell akan berikatan dengan petida virus yang telah dihancurkan oleh macrophage yang ditampilkan pada bagian permukaan oleh HLAs, kemuadian helper cell ini mengeluarkan cairan protein (scretes small protein) yang membantu aktivasi dari sel immune lain, yaitu cytotoxic (killer T cell) dan B-Lympocyte (B cell). Dalam keadaan yang normal killer T cell secara langsung akan menyerang sel yang terinfeksi dan membunuhnya. Sedangkan B lympocyte (B cell) berperan dalam pembentukan anti bodi yang dapat mengenali secara spesifik peptida-peptida virus, hal ini dapat mengefisiensikan kerja sistem kekebalan tubuh, jika ada virus yang sudah dikenali oleh antibodi maka makrophage akan menghancurkanya secara langsung.
Keseluruhan respon di atas dipercaya ‘berpartisipasi’ dalam kemampuan bertahan hidup dari virus HIV, dengan ‘kata kunci’ kerja sistem kekebalan tubuh harus selalu tepat. Jika kerja sistem kekebalan tubuh ini ‘keliru’ (un-cheked) sedikit saja dalam mengenali hasil replikasi sebuah virus, maka dipastikan akan berakibat sangat fatal, yaitu jumlah virus akan bertambah luar biasa banyak tanpa dikenali oleh sistem kekebalan tubuh, jumlah helper cell akan menurun drastis, demikian juga dengan macrophage akibat dari ’pembunuhan’ oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri (senjata makan tuan).
Ketika terjadi infeksi, banyak T sel yang ‘binasa’ akibat partikel virus baru. T killer sel dan B sel bertahan dengan banyak ’membunuh’ sel yang terinveksi virus dan partikel virus. Akibat dari hal ini secara gradual jumlah virus menjadi menurun, keadaan ini memberikan kesempatan kepada tubuh untuk me-restore (mengkonservasi) kembali helper cell dalam kosentrasi yang normal. Namun demikian virus tetap ada, pada fase-fase ini biasanya hampir 30% orang yang terinfeksi menunjukkan beberapa gejala seperti ruam-ruam dan bengkak.
Pada fese kedua sistem kekekebalan tubuh berangsur-angsur berfungsi kembali dengan normal, dan jumlah ukuran virus relatif sangat rendah. Namun demikian jumlah level virus secara gradual berangsur-angsur meningkat pararel dengan ‘kerusakan’ dari populasi helper cell. Fakta ini menunjukkan bahwa menurunnya jumlah helper sel bukan disebabkan oleh kemampuan tubuh dalam memproduksi yang rendah, tetapi disebabkan oleh virus dan dibunuh oleh T killer sel sendiri. Keadaan ini sangat ironis T killer sel yang diperlukan untuk mengontrol inveksi HIV juga merusak helper sel untuk fungsi efisiensi.
Seseorang dikatakan telah terkena AIDS jika jumlah sel heper di bawah 200 sel/mikroliter, dengan jumlah normal seharusnya 1.000 sel/mikroliter. Dalam tingkatan seperti ini, level virus menanjak sangat luar biasa, dan aktivitas sistem kekebalan tubuh ‘drop’ sampai dengan nol. Akibatnya tubuh mengalami ketidakmampuan ‘membentengi’ diri dari segala penyakit, termasuk penyakit yang seharusnya tidak berbahaya bagi tubuh sekalipun. Pada keadaan seperti ini jarang penderita AIDS dapat bertahan lebih dari dua tahun.
2. Teori Evolusi untuk Menjelaskan Permasalahan
Teori evolusi selalu tidak bisa dilepaskan dari konsep mutasi. Mutasi adalah perubahan material genetik dari individu organisme dimana hasilnya berupa sifat yang diturunkan kepada turunannya untuk kemampuan bertahan hidup. Mutasi ini akan memberikan kemampuan kepada individu untuk tetap survival dan ber-reproduksi dengan lebih baik. Setelah waktu berlalu, nenek moyang mereka menurunkan sifat yang sama. Salah satu ’pemicu’ terjadinya evolusi adalah tekanan lingkungan.
Ketika Nowak dan koleganya mempelajari bagaimana siklus hidup HIV, dia menemukan kemiripan dengan fakta-fakta pada mikroba, yang biasanya ’luar biasa’ dalam ’menghindarkan’ diri dan menyesuaikan diri dari keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sebagai contoh, jika material genetik dibuat berubah secara konstan; maka rata-rata mutasi menjadi tinggi, hal ini memberikan kemungkinan beberapa material genetik berubah dengan sifat yang lebih advantagous. Macam material genetik ‘utama’ adalah komponen dari enzim virus yaitu reverse transcriptase. Di dalam sel, virus menggunakan enzim ini untuk meng-copy RNA genom menjadi double strand DNA. DNA ini kemudian dimasukkan ke dalam inti sel yang diinfeksi, kemudian inti sel ini ‘disandera’ untuk memproduksi RNA virus dan protein virus. Elemen-elemen ini, pada gilirannya akan lepas dari sel yang baru ‘disabotase’ tadi, dan kemudian mencari sel-sel ’sabotase’ lainnya. Mutasi virus diduga terjadi selama proses tersebut, karena pada kegiatan tersebut mudah terjadi kesalahan (error prone). Keadaan ini dapat diperkirakan, jika setiap waktu enzim meng-copy RNA menjadi DNA baru dan merubah kembali menjadi RNA baru, maka rata-rata perbedaan variasi dari generasi-generasi virus akan luar biasa tinggi. Pola ini menyebabkan mengapa virus HIV dikenal dengan banyak varian-varian.
3. Skenario dari Kemajuan Penyakit (Disease Progression)
Dengan pengetahuan yang baik dalam pikirannya mengenai evolusi HIV, Nowak dan McMichel mengembangkan sebuah skenario (dengan menggunakan simulasi komputer dan model matematika) untuk menjelaskan ‘bagaimana virus HIV mampu ‘bertahan’ dari kegiatan ‘pembasmian’ oleh sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan AIDS, yang biasanya membutuhkan waktu yang sangat lama’. Skenario yang dikembangkan didasarkan pada asumsi mutasi berjalan dengan konstan, dimana gen virus (viral gens) tetap melanjutkan produksi dengan varian-varian virus yang mampu bertahan dari kerja ‘pembasmian’ sistem kekebalan tubuh dari waktu ke waktu. Varian-varian virus ini muncul sebagai akibat dari perubahan-perubahan struktur dari peptida virus (epitopes) yang ‘gagal’ dikenali sistem kekebalan tubuh.
Hasil dari simulasi tersebut menunjukkan bahwa, beberapa frekuensi perubahan tidak memperlihatkan pengaruh terhadap aktivitas sistem kekebalan tubuh (sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal), tetapi suatu saat terlihat peptida virus menjadi tidak terlihat oleh sistem kekebalan tubuh. Keadaan ini lama-kelamaan akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh kesulitan mengenali partikel virus. Nowak dan McMichael berhipotesis bahwa kemampuan mutasi menyebabkan kemampuan varian-varian virus untuk tetap survival, setelah sistem kekebalan tubuh sangat reaktif dalam ‘pembasmian’ terhadap partikel virus ini.
Virus merusak fungsi sistem kekebalan dengan menyebabkan kematian helper sel, dan kemudian jumlah virus meningkat luar biasa. Selain itu juga virus secara terus menerus memproduksi varian-varian virus yang mampu menghindar dari serangan sistem kekebalan tubuh, dan varian-varian akibat mutasi virus ini (mutant) menyebabkan tingginya populasi virus. Pada saat sistem kekebalan tubuh dapat menemukan mutant-mutant ini, menyebabkan populasi virus menjadi menurun secara drastis
Hasil dari simulasi tersebut juga menunjukkan bahwa, dibutuhkan waktu tunggu yang lama antara tahap inveksi HIV dengan tahap AIDS. Hasil simulasi ini juga dapat menjelaskan mengenai mengapa siklus dari penghindaran dan represi tidak teridentifikasi, tetapi pada akhirnya menyebabkan replikasi virus menjadi tidak terkontrol, yang diakhiri dengan ‘kehilangan’ populasi sel helper dan menyebabkan AIDS.
Secara khusus, model yang dikembangkan oleh Nowak dan koleganya menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh ‘dapat bertahan’ lagi dari beberapa varian virus secara simultan, sayangnya setelah setelah beberapa tahun ketika varian-varian virus HIV sudah sangat luar biasa banyak, dan batas kemampuan kerja sistem kekebalan tubuh telah terlampaui, sistem kekebalan tubuh tidak mampu lagi mengendalikan virus. Batasan kemampuan sistem kekebalan tubuh berbeda dari orang satu dengan orang lain.
Nowak dan koleganya mencoba memberikan penjelasan intuitif (intuitive explanation) mengenai ‘mengapa kehadiran multiple varian dari HIV dapat merusak efisiensi kerja sistem kekebalan tubuh’. Nowak menjelaskan fenomena ini dengan mengibaratkan pertempuran antara dua pasukan tentara, yaitu pasukan HIV dan pasukan sistem kekebalan tubuh. Pasukan HIV adalah pasukan generalis yang mampu menyerang setiap musuh. Sedangkan pasukan sistem kekebalan tubuh adalah pasukan specialis (khusus), yang hanya mampu ’membunuh’ dan mengenali musuh tertentu (pada cerita ini ditandai dengan bendera tertentu).
Pada awal pertempuran, pasukan sistem kekebalan tubuh terlihat sangat ’perkasa’ karena mereka mampu mengenali pasukan-pasukan HIV yang membawa bendera tertentu dan membunuhnya. Setelah beberapa waktu pasukan HIV berkembang menjadi tiga pasukan, dengan setiap pasukan HIV tersebut membawa bendera yang berbeda-beda. Pada keadaan ini, pasukan sistem kekebalan tubuh juga membagi dirinya menjadi tiga pasukan, setiap satu pasukan hanya mengenali satu bendera dari satu pasukan lawan (pasukan HIV). Dalam kondisi demikian pasukan sistem kekebalan tubuh dalam posisi yang dirugikan (tidak menguntungkan). Setiap pasukan sistem kekebalan tubuh hanya mengenali satu bendera dari satu pasukan lawan yang mempunyai tiga bendera, sebaliknya ketiga pasukan HIV dapat mengenali ketiga pasukan sistem kekebalan tubuh untuk ditandai dan dibunuh oleh pasukan sistem kekebalan itu sendiri. Keadaan ini berlangsung terus menerus sampai dengan pasukan sistem kekebalan tubuh ’dihabisi’ oleh pasukannya sendiri tanpa sisa.
4. Prediksi dari Keadaan Penyakit
Selain dapat digunakan untuk menjelaskan konsep batas dari keragaman virus, model yang dikembangkan oleh Nowak dan koleganya juga dapat digunakan untuk menjelaskan ’mengapa beberapa penderita HIV dengan cepat sampai pada tahap AIDS sedangkan sebagian penderita-penderita lainnya membutuhkan waktu yang sangat lama?’. Untuk menjelaskan ini, konsep kunci-nya adalah respon sistem kekebalan tubuh untuk ’membasmi’ epitopes (virus peptida). Efisiensi dari kemampuan pertahanan tidak hanya ditentukan dari banyaknya angka mutasi dari epitopes, namun juga dipengaruhi oleh kemampuan tubuh untuk mengkonservasi (me-restore) ulang sistem kekebalan tubuh. (banyak anggota aktif dari sistem kekebalan tubuh yang terus mengenali setiap infeksi virus). Karenanya, tubuh mampu mengontrol virus yang tidak terindentifikasi, dalam keadaan keragaman varian virus yang tinggi. Dalam keadaan ini pada beberapa penderita, pertumbuhan HIV terlihat lambat. Jika respon sistem kekebalan tubuh untuk mengontrol sistem kekebalan tubuh lemah, sedangkan kemampuan untuk mengkonservasi sistem kekebalan tubuh juga lemah, dalam kasus ini, HIV level akan meningkat tajam akibat dari respon sistem kekebalan tubuh yang kurang.
Jika kombinasi dari respon sistem kekebalan tubuh untuk konservasi kurang dan varian-varian epitope sangat tinggi dan tidak dapat dikontrol, HIV akan berkembang dengan luar biasa cepat. Dalam situasi begini partikel virus original menjadi berkembang biak tanpa banyak tekanan dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan ini beberapa penderita dapat meningkat menjadi AIDS walaupun tanpa kehadiran keragaman virus yang signifikan.
Hasil simulasi dari Nowak dan koleganya juga dapat menjelaskan, apa saja yang terjadi pada populasi virus pada saat awal HIV. Beberapa hari, sebelum sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik, varian-varian virus bereplikasi dengan luar biasa cepat. Karenanya para penderita pada saat ini, terinveksi oleh oleh beberapa variant virus, setelah waktu yang sangat pendek banyak dari virus dalam tubuh berubah dengan sangat cepat dengan banyak variasi. Keadaan ini disebut dengan fase acute dari penyakit.
Setelah sistem kekebalan tubuh mulai lebih aktif, kebertahanan hidup menjadi complicable untuk HIV, dalam waktu yang tidak lama replikasi berlangsung secara bebas, virus juga mampu menyerang ’bangsal’ sistem kekebalan tubuh. Dalam keadaan ini Nowak memprediksi, bahwa seleksi tekanan menyebabkan meningkatnya keragaman dari epytope yang tidak mampu dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Akibatnya sistem kekebalan tubuh akan collapses.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, berikut ini ditampilkan hasil dari model skenario perkembangan penyakit yang dikembangkan oleh Nowak dan McMichael dengan berbagai tipe (tipe lambat, tipe cepat, dan tipe normal)
Tipe Perkembangan Penyakit AIDS (Sumber: Nowak, 1995)
5. Pemusatan Studi Kepada Killer Sel
Model matematika yang dikembangkan oleh Nowak dan McMichael hanya diperuntukkan bagi sistem kerja immune sebagai unit kesatuan sistem kekebalan tubuh. Model tersebut tidak bisa memberikan penjelasan dengan baik mengenai aktifitas dari beragam tipe sel yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Salah satunya adalah adalah killer sel, killer sel juga mengalami tekanan yang luar bisa dari HIV. Untuk menjawab pertanyaan ini Nowak dan koleganya mencoba mendesain model yang secara spesifik dapat ’mengamati dan memeriksa’ tingkah laku dari killer sel.
Model ini mulai dikembangkan sejak McMichael salah satu kolega Nowak kebingungan oleh hasil penelitiannya dalam melacak respons killer sel terhadap HIV yang tidak menunjukkan gejala apapun pada penderita. Studi ini berlangsung selama kira-kira lima tahun untuk menduga pengaruh dari molekul HLA yang berbeda terhadap kemampuan dari penderita untuk melawan serangan virus.
Penelitian klinis menjelaskan respon dari killer sel dalam beragam epitope dalam internal protein HIV yang disebut dengan gag. Tiga dari penderita menggunakan HLA varian B27 untuk menampilkan, dan dua pasien lainnya menggunkana HLA varian B8. Pada pasien B27, killer T sel merespons secara langsung satu fragment dari gag protein, yang mana secara tidak signifikan tidak mengalami variasi selama dalam penelitian. Pada pasien B8, aktivitas killer T sel diarahkan terhadap perlawanan set dari tiga segmen lain dari gag. Seluruhnya ada tiga epitope hasil mutasi dihasilkan selama penelitian, dan banyak dari peptida mutant yang dihasilkan tidak dikenali oleh killer T sel. Penelitian ini merupakan dokumen pertama yang dapat menjelaskan eksistensi dari virus mutant terhadap serangan dari killer T sel pada tubuh manusia.
6. Mengapa Killer Sel Menjadi Tersesat
Untuk menjawab pertanyaan ini, Nowak dan koleganya mengembangkan sebuah model simulasi komputer tentang respon killer T sel terhadap HIV. Program simulasi ini didasarkan asumsi bahwa ’banyak dari hasil dari pemotongan partikel virus yang telah menginfeksi sel yang ditampilkan oleh HLA dikenali oleh killer T sel. Model ini juga berasumsi banyak dari epitope mempunyai kemampuan untuk bermutasi, sehingga karenanya dihasilkan banyak varian virus dari epitope-epitope ini.
Model ini bekerja dengan asumsi mutasi epitope berjalan dengan acak, dan kemudian dilacak pertumbuhan dari setiap varian virus baru, serta kelimpahan dari killer t sel setelah menyerang setiap epitope. Kelimpahan dari killer T sel menentukan pengenalan terhadap epitope.
Hasil dari model simulasi komputer sangat kompleks. Pada pokoknya, meskipun semua sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal dan berhasil namun pada saatnya akan hancur juga, seiring dengan fluktuasi dari respon sistem kekebalan tubuh, seperti halnya pada dua pasien yang memproduksi molekul HLA tipe B8. Fluktuasi ini tampaknya disebabkan kompetisi antara populasi killer T sel dengan sistem kekebalan tubuh.
Berdasarkan perhitungan Nowak, dalam tubuh, satu clone dari killer T sel hanya mengenali satu epitope. Pada saat killer T sel bekerja dengan melibatkan banyak clone akibatnya populasi virus menjadi sangat rendah, dengan demikian mengurangi jumlah dari sinyal stimulus dari T sel. Akhirnya T sel clone yang mengenali banyak dari epitope.
Proses seperti itu akan memberikan keuntungan dan bisa menghapuskan virus, jika virus itu tidak pernah berubah. Di sisi lain, jika epitope sangat dominant dalam respons mutasi, maka T sel clone tidak akan mengenali hasil dari mutant-mutant virus tersebut. Virus akan berlipat ganda tanpa dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh.
7. Pemikiran Tentang Potensi Pengobatan
Berdasarkan model yang telah dikembangkan sebelumnya Nowak dan koleganya mencoba memikirkan tentang potensi pengobatan HIV/AIDS. Nowak melihat dari hasil simulasi bahwa seseorang yang mempunyai sistem kekebalan tubuh yang mampu secara stabil mengenali satu atau beberapa epitope mempunyai kemungkinan mampu mengontrol virus lebih baik daripada seseorang yang mampu merespon jumlah epitope yang banyak.
Nowak juga menyatakan perlunya studi yang mendalam mengenai HLA dengan segera, karena pada bagian ini merupakan titik entry dari sistem penyerangan HIV terhadap sistem kekebalan tubuh. Jika hal ini dapat segera diketahui maka proses pencegahan dan penyembuhan HIV/AIDS merupakan keniscayaan. Nowak juga menyatakan bahwa jika sudah berhasil dikembangkan sebuah model kerja penyakit HIV secara akurat, maka akan berimplikasi terhadap pengembangan vaksin untuk penyembuhan dan pencegahan. Nowak juga menyarankan dalam pengobatan tidak hanya single therapy tetapi multy therapy, karena kemampuan virus dalam bermutasi yang luar biasa tinggi.
8. Suatu Pandangan yang Luas Tentang Dinamika HIV
Temuan dari studi klinis dan simulasi matematika menunjukan replikasi secara masive dalam inveksi para penderita, HIV bermutasi dengan sangat cepat dan menghasilkan sekian banyak keragaman populasi virus. Mutant-mutant ini mampu menghindari serangan dari sistem kekebalan tubuh dan muncul secara dominant sampai dengan sistem kekebalan tubuh ’mampu’ bangkit kembali. Namun setiap mutant yang berhasil ’meloloskan’ diri dari pembunuhan sistem kekebalan tubuh memulai menggandakan dirinya menjadi lebih banyak dengan varian-varian yang berbeda. Keadaan ini tentu saja menyebabkan sistem kekebalan tubuh berusaha menandai ’mulai’ awal setiap sel yang terinveksi oleh HIV dan membunuhnya. Laju pertubuhan HIV yang tinggi menyebabkan ketidak seimbangan sistem kekebalan tubuh dengan jumlah populasi HIV, akibatnya sel HIV juga menginveksi sel-sel sistem kekebalan tubuh seperti helper sel, macrophage bahkan killer T sel, akibat dari hal ini sistem pertahanan tubuh juga menandai dirinya sendiri untuk dibunuh. Sehingga sistem kekebalan tubuh secara berangsur-angsur akan mengalami penurunan hingga sampai titik nol, keadaan ini disebut dengan AIDS.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Analisis Kritis Isi Artikel
Isi artikel yang telah dipaparkan pada bagian pemaparan isi artikel sebelumnya secara umum (menurut saya) sangat menarik. Hanya saja ada beberapa hal yang harus mendapat catatan dan perhatian khusus, yaitu:
• Pada tulisan artikel ini, menurut saya ada ’mata rantai konsep’ yang terputus, sehingga pembaca dengan pengetahuan yang minim mengenai biologi dan virus HIV (seperti saya) akan kesulitan dalam memahaminya. seperti; bagaimana struktur HIV sebenarnya?, bagaimana daur hidup HIV sebenarnya?, apakah HIV berbeda dengan retrovirus lainnya?, bagaimanakah sistem kekebalan tubuh bekerja secara normal?. Hal-hal di atas merupakan pengetahuan ’pra-sarat’ yang harus diketahui oleh pembaca sebelum dapat memahami isi artikel ini. Tidak dibahasnya ’mata rantai konsep’ yang telah disebutkan, sebenarnya dapat dimaklumi ’mungkin’ penulis berasumsi bahwa pembaca telah mengetahui dan memahami hal-hal tersebut.
• Pada halaman 43 dalam artikel, pada sub pokok bahasan ’evolutionary theory predict trouble’ dijelaskan penyebab utama sulitnya sistem kekebalan tubuh untuk ’membasmi’ virus HIV adalah kemampuan mutasi virus yang sangat tinggi sehingga sistem kekebalan tubuh ’kesulitan’ dalam mengenali HIV. Penjelasan pada bagian ini, kurang mampu menjelaskan secara gamblang/detail mengenai bagaimana proses ’penghindaran’ HIV terhadap kegiatan ’pembasmian’ sistem kekebalan tubuh, padahal pada bagian ini merupakan bagian yang terpenting dari isi artikel sebagaimana tersurat dalam judul artikel. Pada awalnya saya berharap mendapat kejelasan mengenai hal itu dari gambar HIV versus Immune system yang divisualisasikan dalam artikel, setelah saya cermati, ternyata gambar tersebut tidak menggambarkan sedikitpun bagaimana HIV ’menghindari’ kegiatan pembasmian oleh sistem kekebalan tubuh. Gambar tersebut justru lebih banyak ’menceritakan’ siklus hidup virus HIV. Sedangkan proses mutasi HIV yang merupakan ’pemicu’ HIV viral tidak dikenali sistem kekebalan tubuh tidak digambarkan sedikitpun oleh penulis.
• Pada halaman 44 dalam artikel, pada sub pokok bahasan a Sceneario Disease Progresion, penulis membuat simulasi komputer mengenai skenario perkembangan penyakit, dengan menggunakan asumsi basis data perkembangan (replikasi) HIV/AIDS yang tidak dijelaskan (disebutkan) secara jelas, padahal (menurut saya) asumsi basis data ini sangat penting, karena berkaitan dengan kemampuan memprediksi perkembangan viral HIV selanjutnya. Saya menduga (berdasarkan tulisan pada bagian lain (hal 46 alinea 2 dalam artikel) bahwa asumsi yang digunakan adalah perkembangan viral HIV secara eksponensial, jika dugaan saya benar maka temuan (hasil) simulasi hanya dapat digunakan untuk kasus HIV/AIDS dimana penderita tidak mengalami treatment/pengobatan sama sekali. Karena dengan adanya pengobatan atau treatment, maka asumsi perkembangan eksponensial menjadi gugur. Sebagai ilustrasi untuk hal ini; ’mengestimasi/memprediksi’ penduduk pada tahun tertentu, berdasarkan data penduduk dari tahun ke tahun kita bisa memprediksi penduduk pada tahun ke-n, namun dengan asumsi rata-rata pertumbuhan yang sama (r yang sama), jika pada rentang waktu ke-n tersebut terjadi kejadian luar biasa yang berkaitan dengan bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk secara ekstrim (misal; tsunami, peperangan yang banyak memakan korban) maka hasil/produk estimasi menjadi tidak tepat lagi. Fenomena ini juga berlaku bagi kasus simulasi yang dikembangkan oleh Nowak, yaitu hanya berlaku pada penderita HIV yang tidak mengalami pengobatan apapun.
Berdasarkan catatan-catatan di atas, untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif perlu dibahas dan dijawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada poin-poin analisis kritis di atas, dengan menggunakan sumber-sumber artikel dan tulisan-tulisan dari ahli lain yang menunjang. Berkaitan dengan catatan analisis kritis nomor 1, maka akan dibahas hal-hal sebagai berikut; 1) bagaimana struktur HIV, 2) bagaimana daur hidup HIV, 3) bagaimana kerja sistem kekebalan tubuh. Berkaitan dengan catatan analisis kritis pada nomor 2 akan dibahas; 4) bagaimana HIV menghindari pembasmian kekebalan tubuh lewat mutasi, 5) mengapa masa inkubasi HIV berbeda dari penderita satu kependerita lain (bagaimana HIV menyebabkan fullblown AIDS). Sedangkan catatan analisis kritis pada nomor 3 tidak dibahas secara khusus, karena menurut saya ’catatan’ tersebut sudah cukup jelas.
2. Pembahasan Terhadap Analisis Kritis Isi Artikel
a. Struktur HIV
AIDS disebabkan oleh sebuah virus. Ukuran virus penyebab AIDS berukuran sepersepuluh ribu milimeter. Virus penyebab AIDS pertama kali ditemukan oleh Luc Montagnier dari Institute Pasteur Paris di Prancis pada tahun 1983, Montagnier berhasil mengisyaratkan ada suatu virus di dalam darah penderita AIDS dan menamakan virus tersebut Limphadenopaty Associated Virus (LAV). Satu tahun kemudian, tepatnya pada bulan mei 1984 seorang ahli dari Amerika Serikat yang bernama Robert Galo dari National Cancer Institute, berhasil menemukan virus serupa yang ia berinama Human T Cell Lympotropic Virus (HTLV). (Morthesen dan Krier, 2007).
Agar tidak terus-menerus menjadi pertentangan mengenai nama virus tersebut pada bulan Mei 1986 WHO melalui komite Taksonomi Internasional memberi nama virus penyebab AIDS ini dengan nama HIV (Human Immunodeviciency Virus), yang digolongkan dalam famili retroviridae, nama ini diberikan pada jenis virus yang mempunyai kemampuan yang ’unik’ yaitu mampu menstransfer informasi genetik dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebur reverse transcriptase. (Sardjito, 1994). Lebih lanjut dijelaskan, karena HIV mempunyai kemampuan replikasi balik, menyebabkan virus mempunyai kemampuan ’menyandera’ sel inang untuk digunakan sebagai ’mesin replikatif’ dalam memproduksi dirinya sendiri, maupun zat yang diinginkan oleh virus itu sendiri (Volker, 1993).
Menurut Volker (1993), secara umum struktur virus HIV dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian selubung (envelope) dan bagian inti (core). Lihat Gambar 7, pada bagian envelope tersusun oleh lapisan lipid bilayer yang serupa dengan plasma membran pada sel manusia, dan memang merupakan derivat dari plasma membran sel pada manusia. Lapisan membran ini terdiri dari tiga protein yang melengkapi bagian envelope yaitu; 1) trans-membrane protein (TM; gp 41), 2) the knob, seperti pada protein permukaan (SU; gp 120) dan bagian luar, 3) matrik protein (MA; p17) pada bagian dalam. Maksud dari (p) adalah melambangkan protein, (gp) melambangkan glycoprotein, angka yang mengikuti adalah perkiraan ukuran molekular dari protein dalam kilo dalton yang ditentukan dari elektophoresis.
Bagian kedua dari struktur HIV adalah bagian core (inti). Pada bagian ini berbentuk roughly bullet, dengan bagian luar ‘skin’ dibentuk dari protein capsid (CA; p24), pada bagian dalam ada dua molekul RNA, setiap RNA dilapisi oleh nucleo-casid protein (NC; p7). Ada tiga enzim berasosiasi dengan RNA-NC complex, yaitu enzim protease (PR; p11), reverse transcriptase (RT; p66), integrase (IN; p32), virus juga mempunyai protein-protein lain yang fungsinya belum teridentifikasi.
Struktur HIV (Sumber: Volker, 1993)
b. Daur Hidup Virus HIV
Proses infeksi HIV pada sel manusia diawali dengan pengikatan the knob (SU) protein pada reseptor sel inang CD4 (Cluster of Differentiation) (Volker, 1993). Protein SU dengan gp 120 mengandung delapan belas residu asam amino sistein. Residu asam amino ini dapat membentuk ikatan disulfida dengan sel inang, sehingga dapat membentuk ikatan yang sangat kuat antara HIV dengan sel inang (Putney dalam Senam, 1999). Selanjutnya trans membran protein (TM) menetrasi (penetrates) sel membran inang, dan kemudian proses selanjutnya terjadi membran fusi di antara keduanya, keadaan ini membuka jalan inti virus masuk ke dalam sel . Setelah inti virus masuk ke dalam sel, maka prosews produksi DNA dari RNA viral dimulai.
Langkah pertama yang dilakukan oleh HIV adalah, nucleocapsid (NC) protein harus dirubah (dipecah) untuk memberikan akses kepada RNA virus dengan reverse transcriptase (RT) enzim. Fakta secara invitro, menunjukkan ada hubungan antara pembelahan Nucleocapsid (NC) dengan kehadiran Protease Protein (PR). Langkah selanjutnya enzim reverse transcriptase mengkatalis terjadinya polimerisasi deoksinukleotida pada cetakan RNA, dan menghasilkan single strand DNA, setelah sintesis terjadi secara lengkap dihasilkan DNA strand lengkap (double strand DNA) yang kemudian ditransportasikan menuju inti sel inang. Pada saat ini enzim integrase (IN) juga ditransportasikan ke dalam inti sel inang, untuk membantu memasukkan (mengintegrasikan) DNA viral ke dalam DNA sel inang. Hasil akhir dari integrasi DNA viral dengan DNA sel inang disebut dengan provirus (Volker, 1993).
Pada tahap selanjutnya adalah proses ‘sabotase’ sel inang oleh virus HIV. Sel inang ‘dimanfaatkan’ oleh virus sebagai ‘mesin replikatif’ untuk ‘memproduksi’ dirinya sendiri, yang kemudian meninggalkan sel inang untuk mencari ‘korban’ sel yang lain. Secara lebih jelas daur hidup virus HIV dapat dilihat pada Gambar berikut.
Siklus Hidup HIV
c. Bagaimana Kerja Sistem Kekebalan Tubuh
Secara singkat, bila kita berbicara tentang sistem kekebalan tubuh, selalu tidak terlepas dari kehadiran sel darah putih (lympocytes), lympocytes ini mampu mengenali secara spesifik zat asing yang masuk ke dalam tubuh (patogen). Jika patogen spesifik masuk ke dalam tubuh, patogen ini akan difagosit oleh tipe lain dari sel darah putih yang disebut dengan macrophage, kemudian macrophage ini akan ’menelan’ spesifik patogen tersebut dan memotong-motongnya menjadi potongan-potongan kecil yang biasa disebut dengan antigen. Potongan-potongan kecil ini (antigen) dibawa pada lekukan dalam protein yang dikenal dengan HLAs (Human Leucocyte Antigen) dan ditampilkan dalam membran macrophage. Spesifik T limpocytes yang dikenal dengan T helper sel kemudian mengenali antigen ini. Diaktivasinya T helper sel ini menyebabkan ia membelah secara cepat, dan menghasilkan jumlah sel yang identik dan mempunyai kemampuan mengenal antigen yang sama.
Menurut McMichael (1996), langkah selanjutnya, akibat aktivasi sel helper akan mengaktifkan sel lain yaitu; B sel (B limfosit) dan killer sel (Cytotoxic T cell) dan Tdth (delayed type hiper sensitive cells). B sel berperan dalam pembentukan antibodi, sedangkan killer T sel akan berikatan dengan ’body’ sel yang terinfeksi oleh patoghen dan kemudian akan membunuhnya dengan mengeluarkan toksin. Sedangkan Tdth menyebabkan tipe alergi jika terdapat patoghen atau substansi asing. Secara lebih jelas sistem kerja sistem immune dapat dilihat pada Gambar berikut:
Kerja Sistem Kekebalan Tubuh (Sumber: http://www.hhmi.org)
3. Bagaimana HIV Menghindari Pembasmian Sistem Immune
Berdasarkan penjelasan Nowak (dalam artikel yang saya angkat), kemampuan HIV menghindari pembasmian oleh sistem kekebalan tubuh dijelaskan melalui teori evolusi, terutama yang berkaitan dengan konsep mutasi yang kemudian diturunkan kepada turunanya.
Nowak menduga, penghindaran HIV dari kegiatan pembasmian sistem immune melalui proses mutasi ’dimulai’ pada saat transkripsi balik untuk meng-copy genom RNA menjadi double strand DNA sampai dengan pengubahan kembali DNA menjadi RNA. Pada saat DNA dimasukan ke dalam sekumpulan kromosom inang, yang kemudian terjadi proses ’pembajakan’ oleh virus untuk memproduksi dirinya sendiri, pada saat rangkaian proses ini mutasi mudah terjadi, karena proses ini agak mudah ’rusak’. Dari penjelasan Nowak diketahui bahwa setiap enzim meng-copy balik dari DNA ke RNA virus kembali, rata-rata RNA baru ini mempunyai bentuk tampilan yang berbeda sama sekali dari generasi sebelumnya, karena pola inilah virus HIV dikenal dengan virus yang mudah berubah. Penjelasan Nowak ini (menurut saya) sangat bagus, namun sayang tidak dijelaskan kelanjutannya terutama dihubungkan dengan kerja sistem kekebalan tubuh, sehingga virus bisa menghindar dari proses pembasmian.
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa, sejak sel inang diinfeksi oleh virus, maka macrophage akan memotong-motong viral protein menjadi potongan-potongan kecil yang disebut dengan antigen, yang kemudian akan ditampilkan pada HLA. Jika semua berjalan dengan baik helper sel akan menandainya dan mengaktivasi dua sel lain yaitu B sel untuk memproduksi antibodi, dan killer T sel untuk membunuh sel yang telah ditandai terinfeksi oleh virus. Akibat sebenarnya sel yang telah terinveksi virus ditandai untuk dibunuh oleh sel killer T sel untuk keberlangsungan sel lainnya. Berdasarkan penjelasan McMichael (1996) ’penandaan’ antigen ini merupakan proses yang harus selalu tepat, bila terjadi kesalahan, walaupun sedikit saja maka sistem kekebalan tubuh dalam keadaan berbahaya. Dasar inilah yang kemudian digunakan oleh McMichael menjelaskan mengapa HIV terlepas dari proses ’pembunuhan’ sistem kekebalan tubuh.
Sayangnya (melanjutkan penjelasan Nowak sebelumnya) HIV merupakan virus yang mempunyai kemampuan berubah (bermutasi) yang sangat tinggi, sehingga ia ’menemukan jalan’ menggagalkan proses ’penandaan’ yang berunjung pada proses ’pembantaian’ ini. Pada kenyataanya perubahan kecil saja akibat mutasi yang telah dijelaskan sebelumnya, sudah mampu merubah struktur dari peptida virus, dan perubahan ini akan merusak ’fit’ antara peptida dengan HLA sehingga terjadi kegagalan ’penandaan’. Hasilnya adalah petida viral menjadi tidak dikenali oleh killer Sel karena bentuk dan strukturnya telah berubah. Penjelasan ini secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2 berikut:
Gambar 1. Pembasmian Sel yang terinveksi HIV jika sistem kekebalan tubuh bekerja normal
Gambar 2. Kegagalan Proses Penandaan disebakan Rusaknya ’fit’ akibat Mutasi
4. Bagaimana HIV Menyebabkan Fullblown AIDS.
Melanjutkan penjelasan sebelumnya, akibat ’kegagalan’ killer T sel merespon serangan HIV dan membunuh helper sel, menyebabkan virus mereplikasi diri dengan sangat cepat. Jika killer T sel mampu mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi HIV, maka virus dapat dikontrol, namun hal ini akan berlangsung beberapa waktu saja; karena helper sel yang diinveksi oleh HIV juga akan dibunuh oleh killer T sel, dan yang ’menyedihkan’ pemeliharaan respon dari killer T sel tergantung pada helper sel, jika sel helper yang juga diserang oleh virus HIV ini juga harus dibunuh oleh killer sel, maka suatu saat kerja sistem pembasmian immune menjadi terganggu (lihat kembali bagaimana sistem immune bekerja).
Rata-rata ’kegagalan’ ini dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk intrinsic aggresion seperti strain HIV, kesehatan individual, yang memberikan kemampuan untuk me-replenish stok helper sel dari respon killer sel. Kekuatan dari killer sel tergantung pada besarnya mutasi virus. Penjelasan ini agaknya dapat menjelaskan bagaimana HIV menyebabkan AIDS, dan mengapa setiap orang
berbeda-beda masa tunggu dari HIV menuju AIDS. Untuk lebih jelas penjelasan ini dapat divisualisasikan seperti pada Gambar berikut.
Bagaimana HIV Menyebabkan AIDS
BAB III
C. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan pada bagian isi artikel dan pada bagian pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
• Infeksi HIV pada sel inang melalui mekanisme pengikatan HIV pada membran sel inang yang kemudian diikuti dengan dengan terintegrasinya DNA virus setelah replikasi dari RNA dengan katalis enzim reverse transcriptase kedalam genom sel inang, kemudian dilanjutkan dengan proses ’sabotase’ oleh virus untuk memproduksi dirinya sendiri
• HIV dapat menghindari sistem kekebalan tubuh, dengan memanfaatkan kemampuan mutasi mereka yang begitu cepat, sehingga mengubah struktur HIV yang berbeda dari satu dengan yang lainya, hal ini mengakibatkan sistem kekebalan tubuh kesulitan mengenalinya, sehingga gagal untuk dibasmi, sehingga jumlah virus meledak tajam untuk menginfeksi sel yang lain.
• HIV dapat menginveksi sel limposit, seperti helper sel, sel makrophage dan sel sistem kekebalan tubuh lainnya, sehingga dapat mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh inang.
Sindrom cacat kekebalan tubuh atau AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang ditularkan dari seseorang ke orang lain oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus) telah hadir sebagai penyakit menular yang sangat menakutkan dan terus meminta korban. HIV berpindah dari ke orang lain melalui hubungan seksual, homoseksual dan biseksual dari seorang pengidap HIV, transfusi darah, jarum suntik, transmisi vertikal dari ibu kejanin.
Menurut catatan WHO, pada akhir tahun 2002 saja, dilaporkan sebanyak 45 juta kasus HIV. Kasus tertinggi terjadi di Afrika sebesar 28,1 juta kasus, menyusul daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara seperti, India, Thailand, Myanmar, Indonesia, dan lain-lain sebesar 6,1 juta kasus (Aditya, 2007). Menurut Hawari (2003) angka sebenarnya dari kasus HIV/AIDS adalah dikalikan 200, dengan didasarkan asumsi kecepatan penularan HIV tiap menitnya mampu menularkan kepada lima orang. Di Indonesia sendiri kasus HIV pertamakali ditemukan pada tahun 1987 di Bali, pada wisatawan asing dari Belanda. Laporan terbaru pada akhir September 2007 dilaporkan sebanyak 10,384 kasus HIV terjadi di Indonesia, dengan angka tertinggi di DKI Jakarta, sedangkan kasus HIV untuk Propinsi Jawa Timur sebesar 1,043 kasus (Depkes Riau, 2007).
Temuan di atas sangat mengejutkan banyak ahli, selama ini mereka beranggapan bahwa permasalahan HIV untuk konteks Indonesia tidak terlalu merisaukan, karena jumlah kaum homoseksual di Indonesia sebagai transmisi utama penularan HIV/AIDS sangat rendah, selain itu mereka beranggapan bahwa nilai moral dan agama masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat barat, namun booming informasi dari konsekuensi global vilage menyebabkan terjadinya pergeseran nilai di kalangan masyarakat, terutama pada kalangan pelajar dan mahasiswa. Beberapa penelitian melaporkan bahwa hubungan seksual di luar nikah sudah mulai dianggap hal ‘lumrah’ oleh sebagian orang. Bahkan temuan yang ‘menghebohkan’ di kota Jogjakarta yang notabene adalah kota pelajar ‘kumpul kebo’ dan aborsi bayi sudah dianggap hal biasa oleh masyarakat sekitar.
Temuan lain yang sangat mengejutkan para ilmuwan bahwa, pola penularan HIV/AIDS di Indonesia berbeda sama sekali dengan pola penularan di negara barat dan Afrika, bila di negara barat dan Afrika transmisi utama lewat kontak homoseksual dan heteroseksual, untuk wilayah Indonesia transmisi utama disebarkan melalui penggunaan narkotika intravena (intravena drug use), dan hubungan heteroseksual. Berikut ini gambaran umum transmisi utama penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.
Mengingat jumlah penderita yang terus meningkat dari tahun ke tahun, pemerintah mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007-2010, yang isinya dapat diringkas sebagai berikut; 1) penanggulangan HIV/AIDS sebagai prioritas nasional, 2) penanggulangan dilaksanakan melalui gerakan nasional, 3) memberi dukungan dana secara nasional, 4) memperkuat gerakan nasional penanggulangan HIV/AIDS. (Dinas Kesehatan Riau, 2007)
Akibat dari kebijakan tersebut, dapat dipastikan hampir sebagian besar orang saat ini, sudah mengetahui apa dan bagaimana HIV/AIDS, terutama pada aspek pencegahan dan penularan HIV/AIDS. Artikel-artikel dalam Bahasa Indonesia mengenai HIV/AIDS dengan mudah didapatkan, walaupun harus kita akui hanya terbatas pada artikel-artikel yang berkaitan dengan pencegahan penularan HIV/AIDS. (patut dipertanyakan pengetahuan yang baik mengenai HIV/AIDS agaknya tidak diiiringi dengan perilaku yang tepat, banyak perilaku masyarakat yang cenderung berisiko mis; penggunaan narkoba, free seks, dll)
Berdasarkan pertimbangan di atas, pada makalah ini saya mengangkat artikel yang berjudul “HIV DAN AIDS” .
Pada makalah ini, saya menyajikan urutan penulisan makalah sebagai berikut, pada bagian awal saya mencoba menceritakan kembali isi artikel yang telah saya sebutkan di atas, pada bagian selanjutnya (pembahasan) saya mencoba menganalisis kritis isi artikel, sekaligus mencoba melengkapi informasi-informasi dari sumber bacaan lain yang saya anggap ‘kurang’ dijelaskan oleh artikel ini.
BAB I
ISI
Hubungan antara HIV dengan sistem kekebalan tubuh merupakan topik yang banyak menyita perhatian ilmuan-ilmuan dunia. Beberapa temuan penelitian mutakhir menyakinkan bahwa ‘replikasi berujung pada mutasi HIV’-lah yang banyak menyebabkan ‘rusaknya’ sel-sel sistem kekebalan tubuh setiap harinya. Pertumbuhan HIV berjalan sangat lambat, biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun tergantung pada kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mem-blokir laju replikasi HIV. Sayangnya bagaimanapun ’luar biasanya’ kemampuan sistem kekebalan tubuh bekerja, suatu saat akan mengalami ‘kekalahan’ juga oleh HIV, keadaan seperti ini disebut dengan full Blown AIDS.
Pada artikel ini penulis (Nowak dan McMichael), menjelaskan bagaimana HIV mampu ’menghindar’ dari respon ’pembantaian’ sistem kekebalan tubuh melalui bantuan evolutionary hypotesis (teori evolusi). Sekaligus penjelasan ini, akan memberikan ‘rasionalisasi’ dari karakteristik (typically) HIV yang khas yaitu, membutuhkan waktu yang sangat lama, dari saat mulai terinfeksi HIV sampai dengan tahap AIDS (kita ketahui jarak waktu antara infeksi HIV sampai dengan AIDS antara sepuluh tahun bahkan lima belas tahun lebih).
Nowak dan McMichael percaya bahwa kekuatan respons sistem kekebalan tubuh tergantung pada kesehatan seseorang. Pada kasus infeksi HIV, pada awalnya sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal dan sangat baik, namun karena mutasi HIV yang terus-menerus, menyebabkan variant-variant HIV (mutant HIV) menjadi melimpah, keadaan ini mengakibatkan sistem kekebalan tubuh ‘kesulitan’ bahkan ’gagal’ mengenali varian-varian HIV tersebut. Di sisi lain varian-varian HIV (mutant-mutant HIV) ini terus menyerang sistem kekebalan tubuh. Jika hal ini berlangsung terus menerus, dalam waktu tidak lama sistem kekebalan tubuh akan bekerja tidak efektif dan akhirnya akan mengalami ‘kekalahan’.
Untuk memahami hal tersebut, Nowak dan McMichael memandang perlu untuk diketahui oleh pembaca bagaimana sistem kekebalan tubuh bekerja ‘membasmi’ virus secara umum, dan bagaimana respon sistem kekebalan tubuh jika virus itu adalah virus HIV.
1. Perkelahian dalam Sistem Kekebalan Tubuh
Jika virus masuk ke dalam tubuh atau sel, sistem kekebalan tubuh dengan segera menuju sel yang terinfeksi, makropage dengan bantuan sel-sel lain akan menelan partikel virus tersebut dan menghancurkanya dalam bentuk fragmen-fragmen kecil peptida (protein fragment), peptida ini kemudian dikenali oleh protein yang disebut dengan HLAs (human leukocyte antigents). Setelah tahap ini, proses kemudian berlangsung sangat rumit dengan melibatkan sel darah putih yang biasa disebut helper T-lympocyte.
Setiap helper sel membawa reseptor yang mampu mengenali peptida atau epitope (peptida virus yang telah dihancurkan oleh macrophage). Jika sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal, helper cell akan berikatan dengan petida virus yang telah dihancurkan oleh macrophage yang ditampilkan pada bagian permukaan oleh HLAs, kemuadian helper cell ini mengeluarkan cairan protein (scretes small protein) yang membantu aktivasi dari sel immune lain, yaitu cytotoxic (killer T cell) dan B-Lympocyte (B cell). Dalam keadaan yang normal killer T cell secara langsung akan menyerang sel yang terinfeksi dan membunuhnya. Sedangkan B lympocyte (B cell) berperan dalam pembentukan anti bodi yang dapat mengenali secara spesifik peptida-peptida virus, hal ini dapat mengefisiensikan kerja sistem kekebalan tubuh, jika ada virus yang sudah dikenali oleh antibodi maka makrophage akan menghancurkanya secara langsung.
Keseluruhan respon di atas dipercaya ‘berpartisipasi’ dalam kemampuan bertahan hidup dari virus HIV, dengan ‘kata kunci’ kerja sistem kekebalan tubuh harus selalu tepat. Jika kerja sistem kekebalan tubuh ini ‘keliru’ (un-cheked) sedikit saja dalam mengenali hasil replikasi sebuah virus, maka dipastikan akan berakibat sangat fatal, yaitu jumlah virus akan bertambah luar biasa banyak tanpa dikenali oleh sistem kekebalan tubuh, jumlah helper cell akan menurun drastis, demikian juga dengan macrophage akibat dari ’pembunuhan’ oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri (senjata makan tuan).
Ketika terjadi infeksi, banyak T sel yang ‘binasa’ akibat partikel virus baru. T killer sel dan B sel bertahan dengan banyak ’membunuh’ sel yang terinveksi virus dan partikel virus. Akibat dari hal ini secara gradual jumlah virus menjadi menurun, keadaan ini memberikan kesempatan kepada tubuh untuk me-restore (mengkonservasi) kembali helper cell dalam kosentrasi yang normal. Namun demikian virus tetap ada, pada fase-fase ini biasanya hampir 30% orang yang terinfeksi menunjukkan beberapa gejala seperti ruam-ruam dan bengkak.
Pada fese kedua sistem kekekebalan tubuh berangsur-angsur berfungsi kembali dengan normal, dan jumlah ukuran virus relatif sangat rendah. Namun demikian jumlah level virus secara gradual berangsur-angsur meningkat pararel dengan ‘kerusakan’ dari populasi helper cell. Fakta ini menunjukkan bahwa menurunnya jumlah helper sel bukan disebabkan oleh kemampuan tubuh dalam memproduksi yang rendah, tetapi disebabkan oleh virus dan dibunuh oleh T killer sel sendiri. Keadaan ini sangat ironis T killer sel yang diperlukan untuk mengontrol inveksi HIV juga merusak helper sel untuk fungsi efisiensi.
Seseorang dikatakan telah terkena AIDS jika jumlah sel heper di bawah 200 sel/mikroliter, dengan jumlah normal seharusnya 1.000 sel/mikroliter. Dalam tingkatan seperti ini, level virus menanjak sangat luar biasa, dan aktivitas sistem kekebalan tubuh ‘drop’ sampai dengan nol. Akibatnya tubuh mengalami ketidakmampuan ‘membentengi’ diri dari segala penyakit, termasuk penyakit yang seharusnya tidak berbahaya bagi tubuh sekalipun. Pada keadaan seperti ini jarang penderita AIDS dapat bertahan lebih dari dua tahun.
2. Teori Evolusi untuk Menjelaskan Permasalahan
Teori evolusi selalu tidak bisa dilepaskan dari konsep mutasi. Mutasi adalah perubahan material genetik dari individu organisme dimana hasilnya berupa sifat yang diturunkan kepada turunannya untuk kemampuan bertahan hidup. Mutasi ini akan memberikan kemampuan kepada individu untuk tetap survival dan ber-reproduksi dengan lebih baik. Setelah waktu berlalu, nenek moyang mereka menurunkan sifat yang sama. Salah satu ’pemicu’ terjadinya evolusi adalah tekanan lingkungan.
Ketika Nowak dan koleganya mempelajari bagaimana siklus hidup HIV, dia menemukan kemiripan dengan fakta-fakta pada mikroba, yang biasanya ’luar biasa’ dalam ’menghindarkan’ diri dan menyesuaikan diri dari keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sebagai contoh, jika material genetik dibuat berubah secara konstan; maka rata-rata mutasi menjadi tinggi, hal ini memberikan kemungkinan beberapa material genetik berubah dengan sifat yang lebih advantagous. Macam material genetik ‘utama’ adalah komponen dari enzim virus yaitu reverse transcriptase. Di dalam sel, virus menggunakan enzim ini untuk meng-copy RNA genom menjadi double strand DNA. DNA ini kemudian dimasukkan ke dalam inti sel yang diinfeksi, kemudian inti sel ini ‘disandera’ untuk memproduksi RNA virus dan protein virus. Elemen-elemen ini, pada gilirannya akan lepas dari sel yang baru ‘disabotase’ tadi, dan kemudian mencari sel-sel ’sabotase’ lainnya. Mutasi virus diduga terjadi selama proses tersebut, karena pada kegiatan tersebut mudah terjadi kesalahan (error prone). Keadaan ini dapat diperkirakan, jika setiap waktu enzim meng-copy RNA menjadi DNA baru dan merubah kembali menjadi RNA baru, maka rata-rata perbedaan variasi dari generasi-generasi virus akan luar biasa tinggi. Pola ini menyebabkan mengapa virus HIV dikenal dengan banyak varian-varian.
3. Skenario dari Kemajuan Penyakit (Disease Progression)
Dengan pengetahuan yang baik dalam pikirannya mengenai evolusi HIV, Nowak dan McMichel mengembangkan sebuah skenario (dengan menggunakan simulasi komputer dan model matematika) untuk menjelaskan ‘bagaimana virus HIV mampu ‘bertahan’ dari kegiatan ‘pembasmian’ oleh sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan AIDS, yang biasanya membutuhkan waktu yang sangat lama’. Skenario yang dikembangkan didasarkan pada asumsi mutasi berjalan dengan konstan, dimana gen virus (viral gens) tetap melanjutkan produksi dengan varian-varian virus yang mampu bertahan dari kerja ‘pembasmian’ sistem kekebalan tubuh dari waktu ke waktu. Varian-varian virus ini muncul sebagai akibat dari perubahan-perubahan struktur dari peptida virus (epitopes) yang ‘gagal’ dikenali sistem kekebalan tubuh.
Hasil dari simulasi tersebut menunjukkan bahwa, beberapa frekuensi perubahan tidak memperlihatkan pengaruh terhadap aktivitas sistem kekebalan tubuh (sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal), tetapi suatu saat terlihat peptida virus menjadi tidak terlihat oleh sistem kekebalan tubuh. Keadaan ini lama-kelamaan akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh kesulitan mengenali partikel virus. Nowak dan McMichael berhipotesis bahwa kemampuan mutasi menyebabkan kemampuan varian-varian virus untuk tetap survival, setelah sistem kekebalan tubuh sangat reaktif dalam ‘pembasmian’ terhadap partikel virus ini.
Virus merusak fungsi sistem kekebalan dengan menyebabkan kematian helper sel, dan kemudian jumlah virus meningkat luar biasa. Selain itu juga virus secara terus menerus memproduksi varian-varian virus yang mampu menghindar dari serangan sistem kekebalan tubuh, dan varian-varian akibat mutasi virus ini (mutant) menyebabkan tingginya populasi virus. Pada saat sistem kekebalan tubuh dapat menemukan mutant-mutant ini, menyebabkan populasi virus menjadi menurun secara drastis
Hasil dari simulasi tersebut juga menunjukkan bahwa, dibutuhkan waktu tunggu yang lama antara tahap inveksi HIV dengan tahap AIDS. Hasil simulasi ini juga dapat menjelaskan mengenai mengapa siklus dari penghindaran dan represi tidak teridentifikasi, tetapi pada akhirnya menyebabkan replikasi virus menjadi tidak terkontrol, yang diakhiri dengan ‘kehilangan’ populasi sel helper dan menyebabkan AIDS.
Secara khusus, model yang dikembangkan oleh Nowak dan koleganya menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh ‘dapat bertahan’ lagi dari beberapa varian virus secara simultan, sayangnya setelah setelah beberapa tahun ketika varian-varian virus HIV sudah sangat luar biasa banyak, dan batas kemampuan kerja sistem kekebalan tubuh telah terlampaui, sistem kekebalan tubuh tidak mampu lagi mengendalikan virus. Batasan kemampuan sistem kekebalan tubuh berbeda dari orang satu dengan orang lain.
Nowak dan koleganya mencoba memberikan penjelasan intuitif (intuitive explanation) mengenai ‘mengapa kehadiran multiple varian dari HIV dapat merusak efisiensi kerja sistem kekebalan tubuh’. Nowak menjelaskan fenomena ini dengan mengibaratkan pertempuran antara dua pasukan tentara, yaitu pasukan HIV dan pasukan sistem kekebalan tubuh. Pasukan HIV adalah pasukan generalis yang mampu menyerang setiap musuh. Sedangkan pasukan sistem kekebalan tubuh adalah pasukan specialis (khusus), yang hanya mampu ’membunuh’ dan mengenali musuh tertentu (pada cerita ini ditandai dengan bendera tertentu).
Pada awal pertempuran, pasukan sistem kekebalan tubuh terlihat sangat ’perkasa’ karena mereka mampu mengenali pasukan-pasukan HIV yang membawa bendera tertentu dan membunuhnya. Setelah beberapa waktu pasukan HIV berkembang menjadi tiga pasukan, dengan setiap pasukan HIV tersebut membawa bendera yang berbeda-beda. Pada keadaan ini, pasukan sistem kekebalan tubuh juga membagi dirinya menjadi tiga pasukan, setiap satu pasukan hanya mengenali satu bendera dari satu pasukan lawan (pasukan HIV). Dalam kondisi demikian pasukan sistem kekebalan tubuh dalam posisi yang dirugikan (tidak menguntungkan). Setiap pasukan sistem kekebalan tubuh hanya mengenali satu bendera dari satu pasukan lawan yang mempunyai tiga bendera, sebaliknya ketiga pasukan HIV dapat mengenali ketiga pasukan sistem kekebalan tubuh untuk ditandai dan dibunuh oleh pasukan sistem kekebalan itu sendiri. Keadaan ini berlangsung terus menerus sampai dengan pasukan sistem kekebalan tubuh ’dihabisi’ oleh pasukannya sendiri tanpa sisa.
4. Prediksi dari Keadaan Penyakit
Selain dapat digunakan untuk menjelaskan konsep batas dari keragaman virus, model yang dikembangkan oleh Nowak dan koleganya juga dapat digunakan untuk menjelaskan ’mengapa beberapa penderita HIV dengan cepat sampai pada tahap AIDS sedangkan sebagian penderita-penderita lainnya membutuhkan waktu yang sangat lama?’. Untuk menjelaskan ini, konsep kunci-nya adalah respon sistem kekebalan tubuh untuk ’membasmi’ epitopes (virus peptida). Efisiensi dari kemampuan pertahanan tidak hanya ditentukan dari banyaknya angka mutasi dari epitopes, namun juga dipengaruhi oleh kemampuan tubuh untuk mengkonservasi (me-restore) ulang sistem kekebalan tubuh. (banyak anggota aktif dari sistem kekebalan tubuh yang terus mengenali setiap infeksi virus). Karenanya, tubuh mampu mengontrol virus yang tidak terindentifikasi, dalam keadaan keragaman varian virus yang tinggi. Dalam keadaan ini pada beberapa penderita, pertumbuhan HIV terlihat lambat. Jika respon sistem kekebalan tubuh untuk mengontrol sistem kekebalan tubuh lemah, sedangkan kemampuan untuk mengkonservasi sistem kekebalan tubuh juga lemah, dalam kasus ini, HIV level akan meningkat tajam akibat dari respon sistem kekebalan tubuh yang kurang.
Jika kombinasi dari respon sistem kekebalan tubuh untuk konservasi kurang dan varian-varian epitope sangat tinggi dan tidak dapat dikontrol, HIV akan berkembang dengan luar biasa cepat. Dalam situasi begini partikel virus original menjadi berkembang biak tanpa banyak tekanan dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan ini beberapa penderita dapat meningkat menjadi AIDS walaupun tanpa kehadiran keragaman virus yang signifikan.
Hasil simulasi dari Nowak dan koleganya juga dapat menjelaskan, apa saja yang terjadi pada populasi virus pada saat awal HIV. Beberapa hari, sebelum sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik, varian-varian virus bereplikasi dengan luar biasa cepat. Karenanya para penderita pada saat ini, terinveksi oleh oleh beberapa variant virus, setelah waktu yang sangat pendek banyak dari virus dalam tubuh berubah dengan sangat cepat dengan banyak variasi. Keadaan ini disebut dengan fase acute dari penyakit.
Setelah sistem kekebalan tubuh mulai lebih aktif, kebertahanan hidup menjadi complicable untuk HIV, dalam waktu yang tidak lama replikasi berlangsung secara bebas, virus juga mampu menyerang ’bangsal’ sistem kekebalan tubuh. Dalam keadaan ini Nowak memprediksi, bahwa seleksi tekanan menyebabkan meningkatnya keragaman dari epytope yang tidak mampu dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Akibatnya sistem kekebalan tubuh akan collapses.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, berikut ini ditampilkan hasil dari model skenario perkembangan penyakit yang dikembangkan oleh Nowak dan McMichael dengan berbagai tipe (tipe lambat, tipe cepat, dan tipe normal)
Tipe Perkembangan Penyakit AIDS (Sumber: Nowak, 1995)
5. Pemusatan Studi Kepada Killer Sel
Model matematika yang dikembangkan oleh Nowak dan McMichael hanya diperuntukkan bagi sistem kerja immune sebagai unit kesatuan sistem kekebalan tubuh. Model tersebut tidak bisa memberikan penjelasan dengan baik mengenai aktifitas dari beragam tipe sel yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Salah satunya adalah adalah killer sel, killer sel juga mengalami tekanan yang luar bisa dari HIV. Untuk menjawab pertanyaan ini Nowak dan koleganya mencoba mendesain model yang secara spesifik dapat ’mengamati dan memeriksa’ tingkah laku dari killer sel.
Model ini mulai dikembangkan sejak McMichael salah satu kolega Nowak kebingungan oleh hasil penelitiannya dalam melacak respons killer sel terhadap HIV yang tidak menunjukkan gejala apapun pada penderita. Studi ini berlangsung selama kira-kira lima tahun untuk menduga pengaruh dari molekul HLA yang berbeda terhadap kemampuan dari penderita untuk melawan serangan virus.
Penelitian klinis menjelaskan respon dari killer sel dalam beragam epitope dalam internal protein HIV yang disebut dengan gag. Tiga dari penderita menggunakan HLA varian B27 untuk menampilkan, dan dua pasien lainnya menggunkana HLA varian B8. Pada pasien B27, killer T sel merespons secara langsung satu fragment dari gag protein, yang mana secara tidak signifikan tidak mengalami variasi selama dalam penelitian. Pada pasien B8, aktivitas killer T sel diarahkan terhadap perlawanan set dari tiga segmen lain dari gag. Seluruhnya ada tiga epitope hasil mutasi dihasilkan selama penelitian, dan banyak dari peptida mutant yang dihasilkan tidak dikenali oleh killer T sel. Penelitian ini merupakan dokumen pertama yang dapat menjelaskan eksistensi dari virus mutant terhadap serangan dari killer T sel pada tubuh manusia.
6. Mengapa Killer Sel Menjadi Tersesat
Untuk menjawab pertanyaan ini, Nowak dan koleganya mengembangkan sebuah model simulasi komputer tentang respon killer T sel terhadap HIV. Program simulasi ini didasarkan asumsi bahwa ’banyak dari hasil dari pemotongan partikel virus yang telah menginfeksi sel yang ditampilkan oleh HLA dikenali oleh killer T sel. Model ini juga berasumsi banyak dari epitope mempunyai kemampuan untuk bermutasi, sehingga karenanya dihasilkan banyak varian virus dari epitope-epitope ini.
Model ini bekerja dengan asumsi mutasi epitope berjalan dengan acak, dan kemudian dilacak pertumbuhan dari setiap varian virus baru, serta kelimpahan dari killer t sel setelah menyerang setiap epitope. Kelimpahan dari killer T sel menentukan pengenalan terhadap epitope.
Hasil dari model simulasi komputer sangat kompleks. Pada pokoknya, meskipun semua sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal dan berhasil namun pada saatnya akan hancur juga, seiring dengan fluktuasi dari respon sistem kekebalan tubuh, seperti halnya pada dua pasien yang memproduksi molekul HLA tipe B8. Fluktuasi ini tampaknya disebabkan kompetisi antara populasi killer T sel dengan sistem kekebalan tubuh.
Berdasarkan perhitungan Nowak, dalam tubuh, satu clone dari killer T sel hanya mengenali satu epitope. Pada saat killer T sel bekerja dengan melibatkan banyak clone akibatnya populasi virus menjadi sangat rendah, dengan demikian mengurangi jumlah dari sinyal stimulus dari T sel. Akhirnya T sel clone yang mengenali banyak dari epitope.
Proses seperti itu akan memberikan keuntungan dan bisa menghapuskan virus, jika virus itu tidak pernah berubah. Di sisi lain, jika epitope sangat dominant dalam respons mutasi, maka T sel clone tidak akan mengenali hasil dari mutant-mutant virus tersebut. Virus akan berlipat ganda tanpa dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh.
7. Pemikiran Tentang Potensi Pengobatan
Berdasarkan model yang telah dikembangkan sebelumnya Nowak dan koleganya mencoba memikirkan tentang potensi pengobatan HIV/AIDS. Nowak melihat dari hasil simulasi bahwa seseorang yang mempunyai sistem kekebalan tubuh yang mampu secara stabil mengenali satu atau beberapa epitope mempunyai kemungkinan mampu mengontrol virus lebih baik daripada seseorang yang mampu merespon jumlah epitope yang banyak.
Nowak juga menyatakan perlunya studi yang mendalam mengenai HLA dengan segera, karena pada bagian ini merupakan titik entry dari sistem penyerangan HIV terhadap sistem kekebalan tubuh. Jika hal ini dapat segera diketahui maka proses pencegahan dan penyembuhan HIV/AIDS merupakan keniscayaan. Nowak juga menyatakan bahwa jika sudah berhasil dikembangkan sebuah model kerja penyakit HIV secara akurat, maka akan berimplikasi terhadap pengembangan vaksin untuk penyembuhan dan pencegahan. Nowak juga menyarankan dalam pengobatan tidak hanya single therapy tetapi multy therapy, karena kemampuan virus dalam bermutasi yang luar biasa tinggi.
8. Suatu Pandangan yang Luas Tentang Dinamika HIV
Temuan dari studi klinis dan simulasi matematika menunjukan replikasi secara masive dalam inveksi para penderita, HIV bermutasi dengan sangat cepat dan menghasilkan sekian banyak keragaman populasi virus. Mutant-mutant ini mampu menghindari serangan dari sistem kekebalan tubuh dan muncul secara dominant sampai dengan sistem kekebalan tubuh ’mampu’ bangkit kembali. Namun setiap mutant yang berhasil ’meloloskan’ diri dari pembunuhan sistem kekebalan tubuh memulai menggandakan dirinya menjadi lebih banyak dengan varian-varian yang berbeda. Keadaan ini tentu saja menyebabkan sistem kekebalan tubuh berusaha menandai ’mulai’ awal setiap sel yang terinveksi oleh HIV dan membunuhnya. Laju pertubuhan HIV yang tinggi menyebabkan ketidak seimbangan sistem kekebalan tubuh dengan jumlah populasi HIV, akibatnya sel HIV juga menginveksi sel-sel sistem kekebalan tubuh seperti helper sel, macrophage bahkan killer T sel, akibat dari hal ini sistem pertahanan tubuh juga menandai dirinya sendiri untuk dibunuh. Sehingga sistem kekebalan tubuh secara berangsur-angsur akan mengalami penurunan hingga sampai titik nol, keadaan ini disebut dengan AIDS.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Analisis Kritis Isi Artikel
Isi artikel yang telah dipaparkan pada bagian pemaparan isi artikel sebelumnya secara umum (menurut saya) sangat menarik. Hanya saja ada beberapa hal yang harus mendapat catatan dan perhatian khusus, yaitu:
• Pada tulisan artikel ini, menurut saya ada ’mata rantai konsep’ yang terputus, sehingga pembaca dengan pengetahuan yang minim mengenai biologi dan virus HIV (seperti saya) akan kesulitan dalam memahaminya. seperti; bagaimana struktur HIV sebenarnya?, bagaimana daur hidup HIV sebenarnya?, apakah HIV berbeda dengan retrovirus lainnya?, bagaimanakah sistem kekebalan tubuh bekerja secara normal?. Hal-hal di atas merupakan pengetahuan ’pra-sarat’ yang harus diketahui oleh pembaca sebelum dapat memahami isi artikel ini. Tidak dibahasnya ’mata rantai konsep’ yang telah disebutkan, sebenarnya dapat dimaklumi ’mungkin’ penulis berasumsi bahwa pembaca telah mengetahui dan memahami hal-hal tersebut.
• Pada halaman 43 dalam artikel, pada sub pokok bahasan ’evolutionary theory predict trouble’ dijelaskan penyebab utama sulitnya sistem kekebalan tubuh untuk ’membasmi’ virus HIV adalah kemampuan mutasi virus yang sangat tinggi sehingga sistem kekebalan tubuh ’kesulitan’ dalam mengenali HIV. Penjelasan pada bagian ini, kurang mampu menjelaskan secara gamblang/detail mengenai bagaimana proses ’penghindaran’ HIV terhadap kegiatan ’pembasmian’ sistem kekebalan tubuh, padahal pada bagian ini merupakan bagian yang terpenting dari isi artikel sebagaimana tersurat dalam judul artikel. Pada awalnya saya berharap mendapat kejelasan mengenai hal itu dari gambar HIV versus Immune system yang divisualisasikan dalam artikel, setelah saya cermati, ternyata gambar tersebut tidak menggambarkan sedikitpun bagaimana HIV ’menghindari’ kegiatan pembasmian oleh sistem kekebalan tubuh. Gambar tersebut justru lebih banyak ’menceritakan’ siklus hidup virus HIV. Sedangkan proses mutasi HIV yang merupakan ’pemicu’ HIV viral tidak dikenali sistem kekebalan tubuh tidak digambarkan sedikitpun oleh penulis.
• Pada halaman 44 dalam artikel, pada sub pokok bahasan a Sceneario Disease Progresion, penulis membuat simulasi komputer mengenai skenario perkembangan penyakit, dengan menggunakan asumsi basis data perkembangan (replikasi) HIV/AIDS yang tidak dijelaskan (disebutkan) secara jelas, padahal (menurut saya) asumsi basis data ini sangat penting, karena berkaitan dengan kemampuan memprediksi perkembangan viral HIV selanjutnya. Saya menduga (berdasarkan tulisan pada bagian lain (hal 46 alinea 2 dalam artikel) bahwa asumsi yang digunakan adalah perkembangan viral HIV secara eksponensial, jika dugaan saya benar maka temuan (hasil) simulasi hanya dapat digunakan untuk kasus HIV/AIDS dimana penderita tidak mengalami treatment/pengobatan sama sekali. Karena dengan adanya pengobatan atau treatment, maka asumsi perkembangan eksponensial menjadi gugur. Sebagai ilustrasi untuk hal ini; ’mengestimasi/memprediksi’ penduduk pada tahun tertentu, berdasarkan data penduduk dari tahun ke tahun kita bisa memprediksi penduduk pada tahun ke-n, namun dengan asumsi rata-rata pertumbuhan yang sama (r yang sama), jika pada rentang waktu ke-n tersebut terjadi kejadian luar biasa yang berkaitan dengan bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk secara ekstrim (misal; tsunami, peperangan yang banyak memakan korban) maka hasil/produk estimasi menjadi tidak tepat lagi. Fenomena ini juga berlaku bagi kasus simulasi yang dikembangkan oleh Nowak, yaitu hanya berlaku pada penderita HIV yang tidak mengalami pengobatan apapun.
Berdasarkan catatan-catatan di atas, untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif perlu dibahas dan dijawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada poin-poin analisis kritis di atas, dengan menggunakan sumber-sumber artikel dan tulisan-tulisan dari ahli lain yang menunjang. Berkaitan dengan catatan analisis kritis nomor 1, maka akan dibahas hal-hal sebagai berikut; 1) bagaimana struktur HIV, 2) bagaimana daur hidup HIV, 3) bagaimana kerja sistem kekebalan tubuh. Berkaitan dengan catatan analisis kritis pada nomor 2 akan dibahas; 4) bagaimana HIV menghindari pembasmian kekebalan tubuh lewat mutasi, 5) mengapa masa inkubasi HIV berbeda dari penderita satu kependerita lain (bagaimana HIV menyebabkan fullblown AIDS). Sedangkan catatan analisis kritis pada nomor 3 tidak dibahas secara khusus, karena menurut saya ’catatan’ tersebut sudah cukup jelas.
2. Pembahasan Terhadap Analisis Kritis Isi Artikel
a. Struktur HIV
AIDS disebabkan oleh sebuah virus. Ukuran virus penyebab AIDS berukuran sepersepuluh ribu milimeter. Virus penyebab AIDS pertama kali ditemukan oleh Luc Montagnier dari Institute Pasteur Paris di Prancis pada tahun 1983, Montagnier berhasil mengisyaratkan ada suatu virus di dalam darah penderita AIDS dan menamakan virus tersebut Limphadenopaty Associated Virus (LAV). Satu tahun kemudian, tepatnya pada bulan mei 1984 seorang ahli dari Amerika Serikat yang bernama Robert Galo dari National Cancer Institute, berhasil menemukan virus serupa yang ia berinama Human T Cell Lympotropic Virus (HTLV). (Morthesen dan Krier, 2007).
Agar tidak terus-menerus menjadi pertentangan mengenai nama virus tersebut pada bulan Mei 1986 WHO melalui komite Taksonomi Internasional memberi nama virus penyebab AIDS ini dengan nama HIV (Human Immunodeviciency Virus), yang digolongkan dalam famili retroviridae, nama ini diberikan pada jenis virus yang mempunyai kemampuan yang ’unik’ yaitu mampu menstransfer informasi genetik dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebur reverse transcriptase. (Sardjito, 1994). Lebih lanjut dijelaskan, karena HIV mempunyai kemampuan replikasi balik, menyebabkan virus mempunyai kemampuan ’menyandera’ sel inang untuk digunakan sebagai ’mesin replikatif’ dalam memproduksi dirinya sendiri, maupun zat yang diinginkan oleh virus itu sendiri (Volker, 1993).
Menurut Volker (1993), secara umum struktur virus HIV dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian selubung (envelope) dan bagian inti (core). Lihat Gambar 7, pada bagian envelope tersusun oleh lapisan lipid bilayer yang serupa dengan plasma membran pada sel manusia, dan memang merupakan derivat dari plasma membran sel pada manusia. Lapisan membran ini terdiri dari tiga protein yang melengkapi bagian envelope yaitu; 1) trans-membrane protein (TM; gp 41), 2) the knob, seperti pada protein permukaan (SU; gp 120) dan bagian luar, 3) matrik protein (MA; p17) pada bagian dalam. Maksud dari (p) adalah melambangkan protein, (gp) melambangkan glycoprotein, angka yang mengikuti adalah perkiraan ukuran molekular dari protein dalam kilo dalton yang ditentukan dari elektophoresis.
Bagian kedua dari struktur HIV adalah bagian core (inti). Pada bagian ini berbentuk roughly bullet, dengan bagian luar ‘skin’ dibentuk dari protein capsid (CA; p24), pada bagian dalam ada dua molekul RNA, setiap RNA dilapisi oleh nucleo-casid protein (NC; p7). Ada tiga enzim berasosiasi dengan RNA-NC complex, yaitu enzim protease (PR; p11), reverse transcriptase (RT; p66), integrase (IN; p32), virus juga mempunyai protein-protein lain yang fungsinya belum teridentifikasi.
Struktur HIV (Sumber: Volker, 1993)
b. Daur Hidup Virus HIV
Proses infeksi HIV pada sel manusia diawali dengan pengikatan the knob (SU) protein pada reseptor sel inang CD4 (Cluster of Differentiation) (Volker, 1993). Protein SU dengan gp 120 mengandung delapan belas residu asam amino sistein. Residu asam amino ini dapat membentuk ikatan disulfida dengan sel inang, sehingga dapat membentuk ikatan yang sangat kuat antara HIV dengan sel inang (Putney dalam Senam, 1999). Selanjutnya trans membran protein (TM) menetrasi (penetrates) sel membran inang, dan kemudian proses selanjutnya terjadi membran fusi di antara keduanya, keadaan ini membuka jalan inti virus masuk ke dalam sel . Setelah inti virus masuk ke dalam sel, maka prosews produksi DNA dari RNA viral dimulai.
Langkah pertama yang dilakukan oleh HIV adalah, nucleocapsid (NC) protein harus dirubah (dipecah) untuk memberikan akses kepada RNA virus dengan reverse transcriptase (RT) enzim. Fakta secara invitro, menunjukkan ada hubungan antara pembelahan Nucleocapsid (NC) dengan kehadiran Protease Protein (PR). Langkah selanjutnya enzim reverse transcriptase mengkatalis terjadinya polimerisasi deoksinukleotida pada cetakan RNA, dan menghasilkan single strand DNA, setelah sintesis terjadi secara lengkap dihasilkan DNA strand lengkap (double strand DNA) yang kemudian ditransportasikan menuju inti sel inang. Pada saat ini enzim integrase (IN) juga ditransportasikan ke dalam inti sel inang, untuk membantu memasukkan (mengintegrasikan) DNA viral ke dalam DNA sel inang. Hasil akhir dari integrasi DNA viral dengan DNA sel inang disebut dengan provirus (Volker, 1993).
Pada tahap selanjutnya adalah proses ‘sabotase’ sel inang oleh virus HIV. Sel inang ‘dimanfaatkan’ oleh virus sebagai ‘mesin replikatif’ untuk ‘memproduksi’ dirinya sendiri, yang kemudian meninggalkan sel inang untuk mencari ‘korban’ sel yang lain. Secara lebih jelas daur hidup virus HIV dapat dilihat pada Gambar berikut.
Siklus Hidup HIV
c. Bagaimana Kerja Sistem Kekebalan Tubuh
Secara singkat, bila kita berbicara tentang sistem kekebalan tubuh, selalu tidak terlepas dari kehadiran sel darah putih (lympocytes), lympocytes ini mampu mengenali secara spesifik zat asing yang masuk ke dalam tubuh (patogen). Jika patogen spesifik masuk ke dalam tubuh, patogen ini akan difagosit oleh tipe lain dari sel darah putih yang disebut dengan macrophage, kemudian macrophage ini akan ’menelan’ spesifik patogen tersebut dan memotong-motongnya menjadi potongan-potongan kecil yang biasa disebut dengan antigen. Potongan-potongan kecil ini (antigen) dibawa pada lekukan dalam protein yang dikenal dengan HLAs (Human Leucocyte Antigen) dan ditampilkan dalam membran macrophage. Spesifik T limpocytes yang dikenal dengan T helper sel kemudian mengenali antigen ini. Diaktivasinya T helper sel ini menyebabkan ia membelah secara cepat, dan menghasilkan jumlah sel yang identik dan mempunyai kemampuan mengenal antigen yang sama.
Menurut McMichael (1996), langkah selanjutnya, akibat aktivasi sel helper akan mengaktifkan sel lain yaitu; B sel (B limfosit) dan killer sel (Cytotoxic T cell) dan Tdth (delayed type hiper sensitive cells). B sel berperan dalam pembentukan antibodi, sedangkan killer T sel akan berikatan dengan ’body’ sel yang terinfeksi oleh patoghen dan kemudian akan membunuhnya dengan mengeluarkan toksin. Sedangkan Tdth menyebabkan tipe alergi jika terdapat patoghen atau substansi asing. Secara lebih jelas sistem kerja sistem immune dapat dilihat pada Gambar berikut:
Kerja Sistem Kekebalan Tubuh (Sumber: http://www.hhmi.org)
3. Bagaimana HIV Menghindari Pembasmian Sistem Immune
Berdasarkan penjelasan Nowak (dalam artikel yang saya angkat), kemampuan HIV menghindari pembasmian oleh sistem kekebalan tubuh dijelaskan melalui teori evolusi, terutama yang berkaitan dengan konsep mutasi yang kemudian diturunkan kepada turunanya.
Nowak menduga, penghindaran HIV dari kegiatan pembasmian sistem immune melalui proses mutasi ’dimulai’ pada saat transkripsi balik untuk meng-copy genom RNA menjadi double strand DNA sampai dengan pengubahan kembali DNA menjadi RNA. Pada saat DNA dimasukan ke dalam sekumpulan kromosom inang, yang kemudian terjadi proses ’pembajakan’ oleh virus untuk memproduksi dirinya sendiri, pada saat rangkaian proses ini mutasi mudah terjadi, karena proses ini agak mudah ’rusak’. Dari penjelasan Nowak diketahui bahwa setiap enzim meng-copy balik dari DNA ke RNA virus kembali, rata-rata RNA baru ini mempunyai bentuk tampilan yang berbeda sama sekali dari generasi sebelumnya, karena pola inilah virus HIV dikenal dengan virus yang mudah berubah. Penjelasan Nowak ini (menurut saya) sangat bagus, namun sayang tidak dijelaskan kelanjutannya terutama dihubungkan dengan kerja sistem kekebalan tubuh, sehingga virus bisa menghindar dari proses pembasmian.
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa, sejak sel inang diinfeksi oleh virus, maka macrophage akan memotong-motong viral protein menjadi potongan-potongan kecil yang disebut dengan antigen, yang kemudian akan ditampilkan pada HLA. Jika semua berjalan dengan baik helper sel akan menandainya dan mengaktivasi dua sel lain yaitu B sel untuk memproduksi antibodi, dan killer T sel untuk membunuh sel yang telah ditandai terinfeksi oleh virus. Akibat sebenarnya sel yang telah terinveksi virus ditandai untuk dibunuh oleh sel killer T sel untuk keberlangsungan sel lainnya. Berdasarkan penjelasan McMichael (1996) ’penandaan’ antigen ini merupakan proses yang harus selalu tepat, bila terjadi kesalahan, walaupun sedikit saja maka sistem kekebalan tubuh dalam keadaan berbahaya. Dasar inilah yang kemudian digunakan oleh McMichael menjelaskan mengapa HIV terlepas dari proses ’pembunuhan’ sistem kekebalan tubuh.
Sayangnya (melanjutkan penjelasan Nowak sebelumnya) HIV merupakan virus yang mempunyai kemampuan berubah (bermutasi) yang sangat tinggi, sehingga ia ’menemukan jalan’ menggagalkan proses ’penandaan’ yang berunjung pada proses ’pembantaian’ ini. Pada kenyataanya perubahan kecil saja akibat mutasi yang telah dijelaskan sebelumnya, sudah mampu merubah struktur dari peptida virus, dan perubahan ini akan merusak ’fit’ antara peptida dengan HLA sehingga terjadi kegagalan ’penandaan’. Hasilnya adalah petida viral menjadi tidak dikenali oleh killer Sel karena bentuk dan strukturnya telah berubah. Penjelasan ini secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2 berikut:
Gambar 1. Pembasmian Sel yang terinveksi HIV jika sistem kekebalan tubuh bekerja normal
Gambar 2. Kegagalan Proses Penandaan disebakan Rusaknya ’fit’ akibat Mutasi
4. Bagaimana HIV Menyebabkan Fullblown AIDS.
Melanjutkan penjelasan sebelumnya, akibat ’kegagalan’ killer T sel merespon serangan HIV dan membunuh helper sel, menyebabkan virus mereplikasi diri dengan sangat cepat. Jika killer T sel mampu mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi HIV, maka virus dapat dikontrol, namun hal ini akan berlangsung beberapa waktu saja; karena helper sel yang diinveksi oleh HIV juga akan dibunuh oleh killer T sel, dan yang ’menyedihkan’ pemeliharaan respon dari killer T sel tergantung pada helper sel, jika sel helper yang juga diserang oleh virus HIV ini juga harus dibunuh oleh killer sel, maka suatu saat kerja sistem pembasmian immune menjadi terganggu (lihat kembali bagaimana sistem immune bekerja).
Rata-rata ’kegagalan’ ini dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk intrinsic aggresion seperti strain HIV, kesehatan individual, yang memberikan kemampuan untuk me-replenish stok helper sel dari respon killer sel. Kekuatan dari killer sel tergantung pada besarnya mutasi virus. Penjelasan ini agaknya dapat menjelaskan bagaimana HIV menyebabkan AIDS, dan mengapa setiap orang
berbeda-beda masa tunggu dari HIV menuju AIDS. Untuk lebih jelas penjelasan ini dapat divisualisasikan seperti pada Gambar berikut.
Bagaimana HIV Menyebabkan AIDS
BAB III
C. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan pada bagian isi artikel dan pada bagian pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
• Infeksi HIV pada sel inang melalui mekanisme pengikatan HIV pada membran sel inang yang kemudian diikuti dengan dengan terintegrasinya DNA virus setelah replikasi dari RNA dengan katalis enzim reverse transcriptase kedalam genom sel inang, kemudian dilanjutkan dengan proses ’sabotase’ oleh virus untuk memproduksi dirinya sendiri
• HIV dapat menghindari sistem kekebalan tubuh, dengan memanfaatkan kemampuan mutasi mereka yang begitu cepat, sehingga mengubah struktur HIV yang berbeda dari satu dengan yang lainya, hal ini mengakibatkan sistem kekebalan tubuh kesulitan mengenalinya, sehingga gagal untuk dibasmi, sehingga jumlah virus meledak tajam untuk menginfeksi sel yang lain.
• HIV dapat menginveksi sel limposit, seperti helper sel, sel makrophage dan sel sistem kekebalan tubuh lainnya, sehingga dapat mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh inang.
Rabu, 14 Oktober 2009
PENYAKIT SIFILIS
Berita baik mengenai sifilis adalah bahwwa jika penyakit ini sudah didiagnosis secara awal, sama sekali tidak sulit untuk menyembuhkan. Berbagai macam antibiotik (biasanya penisilin, tetrasiklin dan/atau doksisiklin) biasanya dapat membasmi tepat pada sasaran.
Kabar buruknya adalah bahwa sifilis yang tidak terdiagnosis sejak dini dapat menjadi penyakit kelamin menular (STD) yang sangat berbahaya yang dapat mengarah kepada gagalnya fungsi jantung dan bahkan kematian. Dan yang lebih parah, gejala-gejalanya dapat sangat berbeda-beda sehingga para dokter sering gagal untuk mendiagnosisnya secara tepat, demikian kata para peneliti.
Mungkin inilah sebagian alasan mengapa sifilis mulai mewabah lagi dalam tahun-tahun terakhir ini. Sekarang penyakit ini berada dalam batas tertinggi sejak tahun 1950 dengan jumlah kurang lebih 40.000 kasus baru (dan mungkin lebih banyak lagi) yang muncul di Amerika Serikat setiap tahunnya, demikian menurut para peneliti.
Beberapa tahun yang lalu, sifilis adalah satu masalah seksual serius yang berjangkit secara luas. Pada abad ke-16 dan 17 di Eropa, penyakit ini menyebar luas dan penderitanya dihadapkan pada berbagai macam pengobatan yang berbahaya (dan sebagian besar tidak berguna). Pada awal tahun 1900-an, pasien sifilis (termasuk Danish Writer Isak Dinesen, penulis Out of Africa) diberi bismut dan arsenik yang kadang-kadang lebih mematikan daripada penyakit itu sendiri. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah pengobatan baru diperkenalkan: Pasien dengan sengaja dibuat terinfeksi oleh malaria yang mengakibatkan demam sampai 106 drajat Farenheit selama beberapa hari, dan “membakar” sifilis itu atau mungkin juga dapat membunuh si pasien.
Di tahun 1940-an, obat pertama yang benar-benar efektif untuk sifilis diperkenalkan yaitu penisilin. Bahkan dewasa ini, penisilin tetap “obat pilihan pertama” untuk mengatasi semua tahap sifilis, demikian menurut Connie Whiteside, dari bagian pengobatan umum University of California, Davis, Medical Center. Pada kenyataannya, penisilin sangat efektif dalam mengurangi kadar-kadar infeksi sehingga pada tahun 1950-an, beberapa dokter secara optimis menggambarkan sifilis sebagai “satu penyakit yang telah lenyap.” Namun di akhir tahun 1980-an, sifilis mulai mewabah lagi terutama di kota-kota besar dan diantara perempuan-perempuan tuna susila dan pengguna obat-obat terlarang. Perilaku yang sembrono seperti pertukaran antara kesediaan berhubungan seksual dengan imbalan obat-obat terlarang merupakan salah satu alasan mengapa sifilis sempat merajalela dan tampaknya kembali meluas di tahun 1990-an, demikian kata pegawai kesehatan umum
Penyebab.
Sifilis disebabkan oleh suatu bakteri yang berbentuk spiral atau spirochete yang disebut Treponema pallidum. Dengan strategi hampir selalu menular ke korban baru melalui persetubuhan atau seks oral, makhluk kecil ini mencari jalan masuk melalui kulit, dan dari sana, ia menyebar dengan ganas. Beberapa jam setelah bakteri-bakteri ini masuk kedalam kulit, mereka yang berbentuk spiral ini biasanya berhasil masuk ke dalam aliran darah, dan dalam satu minggu mereka telah menyebar ke seluruh tubuh. Jika tidak diobati, infeksi tersebut biasanya berkembang melalui 3 tahap selama bertahun-tahun. Selama tahap pertama (sifilis awal), sebuah bisul yang tidak sakit muncul di tempat dimana bakteri itu masuk kedalam tubuh. Bisul ini atau chancre biasanya muncul berkisar antara 10 hingga 90 hari setelah infeksi dan hampir selalu di bagian genital.
Biasanya, bisul-bisul sifilis memiliki bagian tengah yang halus dan pinggiran yang menonjol dan keras dan kadang-kadang berisi nanah kuning seperti sebuah lepuh atau jerawat, demikian menurut Dr. Whiteside. Pada lelaki, bisul-bisul itu biasanya muncul pada atau dekat kepala penis.Pada perempuan, bisul-bisul itu biasanya pada labia (bibir-bibir vagina) namun kadang-kadang mereka juga berada di vagina bagian dalam, dimana bisul-bisul itu tidak dapat dilihat atau dirasakan. Kadang-kadang, bisul-bisul itu juga muncul di mulut, payudara, jari-jari, lidah atau wajah.Setelah itu penyakit ini sulit dilacak.
Dalam satu atau dua bulan, bisul-bisul itu sembuh dan lenyap, yang menyebabkan banyak orang yang terinfeksi juga menyimpulkan kalau infeksinya telah sembuh. Namun, ini tidak benar.Penyakit itu hanya menghilang ke dalam tubuh dan terus melakukan kerusakan di tempat-tempat yang tidak dapat dilihat. (Inilah alasannya mengapa segala jenis bisul genital harus diperiksa oleh seorang dokter. Jangan hanya menunggu sampai bisul tersebut lenyap karena pada penyakit sifilis bisul itu akan hilang dengan sendirinya. Namun, anda masih terinfeksi dan anda mungkin dapat menulari).
Tahap demi tahap. Fase kedua (sifilis tahap lanjut), biasanya muncul dua hingga 6 bulan setelah bisul-bisul itu lenyap dan mungkin akan belanjut hingga lebih dari dua tahun. Pada saat itu bakteri tersebut telah menyebar sangat luas sehingga mungkin telah memasuki hampir semua bagian tubuh. Gejala-gejala yang diakibatkan dapat sangat berbeda-beda sehingga sifilis kadang-kadang disebut sebagai peniru ulung
Tanda paling umum sifilis tahap kedua ini adalah bintik-bintik merah seperti campak yang tidak gatal yang biasanya muncul di telapak-telapak tangan atau telapak-telapak kaki, yang sering disertai perasaan seperti sakit flu, demikian menurut Ted Rosen, M.D., professor dermatologi di Baylor College of Medicine di Houston. Anda mungkin juga merasa pusing, mengalami pembengkakan kelenjar-kelenjar, berat badan turun dan biasanya merasa loyo. Kurang lebih sepertiga pasien mengalami bisul-bisul yang berwarna agak keputih-putihan di mulut atau tenggorokan mereka dan mulai mengalami kebotakan, demikian menurut Dr. Whiteside. Penyakit ini sangat menular pada tahap ini, dan (jika terdapat bisul-bisul di mulut) dapat menular melalui ciuman.
Tahap akhir penyakit tersebut (sifilis tahap ketiga) biasanya terjadi setelah suatu periode tidak aktif yang mungkin berlangsung selama 20 tahun atau bahkan 30 tahun.Selama masa ini, mungkin terdapat sedikit tanda-tanda infeksi di bagian luar tubuh, itupun jika ada. Walaupun tidak begitu menular di tahap terakhir ini (sifilis biasanya hanya menular selama beberapa tahun pertama anda terinfeksi penyakit ini), namun ia tetap dapat melakukan perusakan-perusakan hebat kepada penderitanya dengan menyerang tulang, jantung, syaraf tulang belakang dan bahkan otak.
Walaupun sifilis hampir selalu ditularkan lewat hubungan seksual, ia juga dapat ditularkan dari seorang ibu ke bayinya dan inilah alasan mengapa sangat penting bagi ibu-ibu untuk melakukan tes darah guna mendeteksi penyakit ini di awal-awal kehamilan. Perawatan sebelum bulan kelima dapat mencegah infeksi sifilis, namun seorang ibu yang telah terinfeksi dan tidak dirawat hanya memiliki peluang 1:6 kemungkinan melahirkan bayi yang sehat.Singkatnya sifilis dapat menjadi kabar terburuk. Jika dokter anda mencurigai bahwa anda mungkin terjangkit penyakit ini, dokter anda tidak akan ragu-ragu memerintahkan anda untuk melakukan tes-tes guna memastikan adanya bakteri-bakteri berbentuk spiral ini atau adanya antibodi-antibodi atas bakteri itu dalam darah anda. Sayangnya tidak ada tes yang sempurna untuk mendeteksi sifilis dan hanya ada serangkaian tes yang tidak sempurna yang ketepatannya sangat bervariasi tergantung pada tahap mana penyakit tersebut telah menyerang korban.
Tes paling akurat untuk mendeteki sifilis tahap awal adalah pemeriksaan kerikan luka-luka di bawah mikroskop khusus. Karena kerikan luka-luka itu biasanya dipenuhi oleh organisme-organisme yang merugikan, mereka benar-benar dapat dilihat. Sayangnya, tes ini memerlukan keahlian khusus dan peralatannya tidak mudah didapatkan.
Dua dari tes yang paling kurat untuk mendeteksi sifilis tahap kedua adalah tes-tes yang dikembangkan oleh Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagin Test. Kedua tes ini, yang mendeteksi adanya antibodi-antibodi terhadap T. pallidum di dalam darah, tidak mahal dan mudah dilakukan. Namun, tes-tes itu juga bisa menghasilkan sejumlah kepastian yang salah. Infeksi-infeksi lainnya (seperti herpes, monokleosis dan hepatitis), vaksinsi-vaksinasi, kehamilan atau penyalahgunaan obat dapat memberikan petunjuk yang salah bahwa anda menderita sifilis. Itulah sebabnya mengapa sebuah tes yang lebih mahal dan lebih tepat mungkin bisa digunakan untuk memastikan hasil positif dari tes VDRL sebelumnya.Yang harus anda lakukan.
Dalam rangka membasmi sifilis, berikut beberapa hal yang perlu anda ingat. Sifilis sangat sukar dimusnahkan dan tidak ada kepastian bahwa penyakit ini benar-benar hilang, bahkan setelah anda minum antibiotik-antibiotik sekalipun. Itulah sebabnya mengapa sangat penting untuk kembali ke dokter untuk melakukan tes-tes darah selanjutnya. Para dokter juga menyarankan untuk memeriksakan diri kembali dua tahun setelah perawatan.Jika anda didiagnosis terjangkit sifilis, anda harus memberitahu pasangan (atau pasangan-pasangan) seksual anda dan membujuk mereka untuk pergi ke seorang dokter untuk mendapatkan kepastian dan perawatan yang memungkinkan
Tumor atau Kanker
Tumor merupakan sekelompok sel-sel abnormal yang terbentuk hasil proses pembelahan sel yang berlebihan dan tak terkoordinasi. Dalam bahasa medisnya, tumor dikenal sebagai neoplasia. Neo berarti baru, plasia berarti pertumbuhan/pembelahan, jadi neoplasia mengacu pada pertumbuhan sel yang baru, yang berbeda dari pertumbuhan sel-sel di sekitarnya yang normal. Yang perlu diketahui, sel tubuh secara umum memiliki 2 tugas utama yaitu melaksanakan aktivitas fungsional nya serta berkembang biak dengan membelah diri. Namun pada sel tumor yang terjadi adalah hampir semua energi sel digunakan untuk aktivitas berkembang biak semata. Fungsi perkembangbiakan ini diatur oleh inti sel (nucleus), akibatnya pada sel tumor dijumpai inti sel yang membesar karena tuntutan kerja yang meningkat.
Dari pengertian tumor diatas, tumor dibagi mejadi 2 golongan besar yaitu tumor jinak (benign) dan tumor ganas ( malignant) atau yang popular dengan sebutan kanker. Terdapat perbedaan sifat yang nyata diantara dua jenis tumor ini dan memang membedakannya merupakan tuntutan wajib bagi praktisi medis. Perbedaan utama di antara keduanya adalah bahwa tumor ganas lebih berbahaya dan fatal sesuai dengan kata ‘ganas’ itu sendiri. Gambarannya begini, walaupun tumor ganas atau kanker itu berada pada jaringan di kaki, hal itu dalam tahap lanjut dapat mengakibatkan kematian. Tumor jinak hanya dapat menimbulkan kematian secara langsung terkait dengan lokasi tumbuhnya yang membahayakan misalnya tumor di leher yang dapat menekan saluran napas. Terdapat beberapa sifat yang membedakan antara tumor jinak dan ganas ;
1. Pertumbuhannya.
Tumor ganas tumbuhnya relative lebih cepat karena memang lebih aktif dan agresif, akibatnya jika di permukaan tubuh akan tampak tumor membesar dengan cepat dan seringkali di puncaknya disertai dengan luka atau pembusukan yang tidak kunjung sembuh. Luka menahun ini diakibatkan suplai nutrisi kepada sel-sel tumor tidak mampu mengimbangi lagi sel-sel tumor yang jumlah sangat cepat berlipat ganda, akibatnya sel-sel yang berada diujung tidak mendapat nutrisi dan mati. Jadi hati-hati jika memiliki luka yang kotor dan tidak kunjung sembuh dengan pengobatan bahkan bertambah luas.
2. Perluasannya.
Tumor jinak tumbuh secara ekspansif atau mendesak, tetapi tidak merusak struktur jaringan sekitarnya yang normal. Hal ini dikarenakan tumor jinak memiliki kapsul yang membatasi antara bagian sel-sel tumor yang abnormal dengan sel-sel normal. Sebaliknya pada tumor ganas yang memang tak berkapsul, tumor ini tumbuhnya infiltratif atau menyusup sembari merusak jaringan disekitarnya. Pertumbuhan semacam ini pertama kali ditemukan oleh Hippocrates – bapak ilmu kedokteran – dan beliau menamakan sebagai cancer (bahasa latin dari kepiting) karena menurutnya proses infiltratif seperti demikian menyerupai bentuk capit kepiting. Akibat proses infiltratif tersebut, maka jaringan disekitar tumor ganas seringkali rusak, dan jika jaringan yang diinfiltrasi itu berupa pembuluh darah maka tumor jenis ini dapat menimbulkan gejala perdarahan. Contohnya, pada kanker paru salah satu gejalanya adalah batuk darah.
3. Metastasis.
Metastasis merupakan anak sebar, artinya kemampuan suatu jaringan tumor untuk lepas dari induknya dan menempel serta mampu hidup dan berkembang lebih lanjut pada jaringan tubuh lain yang letaknya jauh dari jaringan tumor induk. Misalnya kanker payudara dapat bermetastasis hingga ke paru-paru dan menyebabkan gangguan proses pernapasan. Jalur metastasis bisa melalui aliran darah, aliran limfe maupun proses terlepas/terjatuh langsung menempel pada tempat tertentu. Metastasis hanya terjadi pada tumor ganas. Tumor jinak tidak pernah bermetastasis. Oleh karena metastasis inilah maka tumor ganas pada kaki misalnya dapat berakibat fatal terhadap penderitanya.
4. Gambaran selular.
Tumor ganas di bawah mikroskop akan tampak sekumpulan sel-sel yang seringkali tidak menyerupai jaringan normal semestinya, bahkan sel-sel ganas bisa memberi gambaran yang sama sekali tidak menyerupai sel apapun dalam tubuh manusia (tidak berdiferensiasi/anaplasi). Sedangkan tumor jinak umumnya diferensiasinya baik, artinya gambaran sel-selnya masih serupa sel-sel normal asalnya namun aktvitas pembelahannya saja yang lebih aktif. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin anaplastik / berdiferensiasi semakin buruk suatu tumor maka tumor itu pastilah semakin ganas.
5. Kekambuhan.
Tumor jinak umumnya dengan dioperasi secara tepat jarang untuk kambuh lagi. Tumor ganas memiliki kekambuhan lebih tinggi dikarenakan proses pembedahannya sulit untuk benar-benar tuntas dikarenakan memang jaringan abnormal ini tidak berkapsul sehingga sulit untuk dibedakan dan dipisahkan dari jaringan normal sekitarnya yang sudah diinfiltrasi. Selain itu tumor ganas tahap lanjut umumnya penyebaran sudah lebih luas bahkan sudah bermetasasis jauh sehingga operasi adalah tidak mungkin menyembuhkan lagi karena sel-sel ganas sudah ada hampir di setiap bagian tubuh.
Apa sih yang menyebabkan seseorang dapat menderita tumor? Ini adalah pertanyaan yang paling sering diutarakan seorang pasien kepada praktisi medis tentang tumor. Dan pertanyaan yang sebenarnya simpel ini sebenarnya menimbulkan kegelisahan sendiri bagi kaum medis setiap kali ditanyakan. Mengapa? Bukan karena kami tidak tahu jawabannya, tetapi dunia kedokteran dan penelitian memang belum tahu jawaban pasti akan penyebab pasti seseorang dapat menderita tumor.
Tapi secara umum dipercaya bahwa proses terbentuknya tumor berkaitan dengan 3 faktor utama yaitu genetik (keturunan), karsinogenik (onkogen) dan co-karsinogen (co-onkogen). Faktor genetik atau keturunan menyebutkan bahwa beberapa orang membawa bakat (berupa gen) untuk tumor tertentu. Tentunya bakat saja tidak akan menjelma menjadi tumor di kemudian hari jika tidak ada faktor pemicu lainnya. Faktor pemicu lainnya itu adalah karsinogen dan co-karsinogen. Yang termasuk karsinogen antara lain senyawa kimia (seperti asbes, pengawet dan pewarna makanan), faktor fisika (seperti radiasi roentgen berlebih, sinar matahari berlebih), hormonal (seperti peranan estrogen pada kanker payudara, testosterone pada kanker prostate), dan virus (seperti virus HPV sebagai biang keladi utama kanker leher rahim ). Sedangkan co-karsinogen adalah usia tertentu (umumnya kejadian tumor seiring dengan pertambahan usia), pola hidup yang salah, merokok, alkohol, pola makan kurang serat, adanya iritasi berulang-ulang.
Menilik pada bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi suatu tumor itu adalah multifaktorial dan prosesnya rumit. Akibatnya dalam dunia neoplasia, pencegahan terhadap jenis penyakit satu ini seringkali sulit karena memang penyebab pastinya belum diketahui. Terdapat beberapa keganasan yang sudah memiliki anjuran pencegahan yang sudah diterima umum antara lain menghindari merokok (untuk mencegah kanker leher rahim, paru, mulut), hindari hubungan seksual usia terlalu dini dan gonta-ganti seksual serta imunisasi HPV (untuk mencegah kanker leher rahim), hindari alcohol (untuk mencegah kanker lambung, kerongkongan, hati) dan lainnya.
Tetapi yang cukup penting bagi jenis penyakit tumor selain pencegahan adalah deteksi dini atau tes skrining. Penelitian akan tes skrining serta cara-cara deteksi dini semakin berkembang ke arah yang cukup menjanjikan. Terdapat beberapa cara dalam mengenali tumor. Juga terdapat prosedur-prosedur yang bertahap dilakukan oleh dokter guna mendiagnosa penyakit ini. Keluhan subjektif yang disampaikan pasien seringkali tidak banyak menolong karena memang umumnya gejala tidak spesifik.
Namun memang ada beberapa gejala yang sudah mengarahkan pikiran dokter ke kemungkinan tumor tertentu, misalnya :
- Sering keluar darah pada kemaluan setelah berhubungan seksual tanpa sebab jelas. Biasanya perlu dicurigai ke arah kanker leher rahim.
- Benjolan payudara yang keras dengan putting susu yang tertarik ke dalam, perlu dipertimbangkan kanker payudara.
- Batuk darah pada perokok berat yang berusia > 50 tahun seringnya terkait kanker paru.
- Perubahan feses menjadi kecil-kecil serta terdapatnya darah di dalamnya dapat dicurigai kanker usus besar.
Dari berbagai keluhan ini maka akan dilakukan pemeriksaan fisik klinis terhadap tubuh terkait. Seringkali diperlukan pemeriksaan dalam seperti colok dubur (memasukkan jari ke dalam lubang pantat) atau colok vagina. Tetapi seringkali semua prosedur ini baru menghasilkan suatu diagnosa presumptive atau dugaan pada sebagian besar kasus, sehingga pemeriksaan penunjang diperlukan.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dapat yang sederhana dan relative murah sampai yang supermahal dan canggih. Prinsipnya semakin aneh dan sulit suatu tumor maka diperlukan pemeriksaan yang lebih canggih dan mahal. Antara lain pemeriksaan penujang yang dilakukan adalah foto roentgen , CT-scan, MRI, USG, biopsy (sebagian atau seluruh jaringan yang dicurigai diambil dan diperiksa dibawah mikroskop) , bronkoskopi (memasukkan selang berkamera ke dalam saluran napas), endoscopy (memasukkan selang berkamera ke dalam saluran cerna, bisa lewat mulut atau dubur), pemeriksaan darah, pemeriksaan feses, Pap’s smear dan mammografi (foto roentgen khusus untuk payudara).
Di antara semua jenis pemeriksaan penunjang ini, pemeriksaan yang dapat memastikan jenis tumor dan derajad keganasannya adalah biopsy. Seperti yang disinggung sebelumnya, dalam hal penyakit tumor dikenal pemeriksaan skrining yang artinya deteksi dini akan kehadiran tumor tersebut sehingga penatalaksanaan dapat memberikan hasil lebih optimal. Deteksi dini adalah hal terpenting dalam penatalaksanaan tumor, khususnya kanker. Bahkan ada beberapa cara deteksi dini yang dapat dilakukan pasien sendiri, contohnya memeriksa payudara sendiri tiap bulan sehabis mens (SADARI-Periksa Payudara Sendiri) untuk mendeteksi adanya tumor pada payudara.
Namun sayangnya tidak semua jenis tumor memiliki cara skrining yang tepat. Berbagai kanker ganas seperti kanker paru, pancreas, lambung, ovarium seringkali terluput dari gejala keluhan maupun pemeriksaan klinis sehingga datang-datang sudah dalam tahap lanjut yang sulit ditangani lagi. Beruntungnya, dua jenis kanker tersering pada kaum wanita, yaitu kanker payudara dan leher rahim, memiliki deteksi dini yang cukup akurat. Pap’s smear masih menjadi skrining efektif bagi kanker leher rahim maupun kanker endometrium (dinding rahim), sedangkan mammografi dikombinasi dengan SADARI dan USG efektif digunakan sebagai skrining kanker payudara.
Jadi jangan sia-siakan keuntungan ini bagi kaum wanita, berkonsultasilah dengan dokter dan lakukan skrining dengan teratur. Selain mengetahui jenis tumornya, khusus untuk tumor ganas atau kanker, penting pula diketahui klasifikasi atau derajadnya. Secara umum, semakin kecil derajat kanker maka semakin dapat ditanggulangi dan prognosis (harapan kesembuhan dan hidup) jauh lebih besar.
Ada 2 sistem klasifikasi tumor yaitu grading dan staging. Dalam grading, klasifikasi tumor berdasarkan gambaran jaringan pada mikroskop, yaitu dari hasil biopsy (gambaran histopatologik). Di sini dinilai tingkat anaplastik atau differensiasi sel-sel kanker, semakin kacau gambaran sel (semakin anaplastik) semakin tinggi derajatnya dan berarti semakin ganas kanker tersebut.
Sedangkan staging didapatkan dari pemeriksaan klinis-penunjang, dan umumnya derajatnya dinilai berdasarkan ukuran besar tumor induk, sudah menyebar ke kelenjar limfe atau belum serta sudah bermetastasis atau belum. Yang lebih bermakna dalam terapi adalah klasifikasi berdasarkan staging ini. Semakin tinggi staging, misalnya kanker yang sudah bermetastasis, maka pengobatan akan menemukan jalan buntu dan harapan hidup berkurang.
Pengobatan tumor ada berbagai macam, secara umum merupakan kombinasi antara operasi, radiasi dan kimia (kemoterapi). Tumor jinak jika mengganggu dan memungkinkan biasanya dioperasi dan diangkat. Dan selanjutnya kekambuhan jarang terjadi. Tumor jinak tidak memerlukan terapi radiasi maupun kemoterapi. Berbeda dengan tumor jinak, hanya kanker stadium sangat awal saja yang dapat diterapi dengan operasi semata, selebihnya biasanya diterapi kombinasi antar ketiga macam jenis terapi di atas.
Kanker dengan staging rendah umumnya dengan dioperasi pengangkatan yang baik dan dilanjutkan dengan radiasi terhadap kemungkinan adanya sel-sel yang tertinggal di sekitar daerah yang dioperasi, maka dapat menyembuhkan penderita. Pada kanker yang sudah bermetastasis, tambahan kemoterapi yang berupa obat yang disuntikkan ke pembuluh darah dimaksudkan untuk mengejar dan membunuh sel-sel kanker yang sudah berkeliaran ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah atau limfe. Dan biasanya dalam tahap lanjut, terapi kanker hanya ditujukan paliatif yang berarti bertujuan mempanjang usia dan meringankan gejala yang membuat pasien menderita. Terapi paliatif tidak bertujuan menyembuhkan, karena memang kanker sudah relative sulit disembuhkan pada stadium lanjut.
Kapan diperlukan radiasi antara lain berdasarkan sensitivitas jenis sel kanker terhadap radiasi. Ada beberapa sel kanker yang memang sangat peka diradiasi dan memberikan hasil baik seperti kanker dari sel-sel embrional (contoh testis), atau sel-sel darah dan limfe (contoh limfoma). Tetapi ada beberapa sel kanker yang memang kebal terhadap penyinaran. Terkadang radiasi dilakukan sebelum operasi dengan tujuan kanker sedikit mengecil sehingga operasi lebih mudah dengan lebih sedikit efek samping. Permasalahan pengobatan kanker adalah kompleks, tidak semudah yang dituliskan diatas.
Walaupun secara teoritis radiasi dan kemoterapi dapat membunuh kanker dan operasi dapat membuang kanker, terdapat batasan nyata terhadap upaya-upaya ini. Hal ini dikarenakan penyakit kanker disebabkan oleh agen yang unik, yaitu sel tubuh sendiri yang kehilangan kontrol dan membangkang terhadap koordinasi selular. Tentunya ini berbeda dengan penyakit lain pada umumnya yang disebabkan oleh agen asing seperti virus, bakteri. Akibatnya pengobatan terhadap kanker seperti radiasi dan kemoterapi secara klinis akan membunuh sel-sel normal yang terkena juga. Oleh karena itu walaupun dunia kedokteran sudah menemukan dosis radiasi yang dapat mematikan kanker tetapi penyinaran sebesar dosis itu mustahil dilakukan karena itu berarti merusak jaringan normal yang ada disekitarnya juga. Bayangkan jika kanker berada di hati dan dengan radiasi berarti hati pun ikut rusak, hal itu akan mendatangkan kematian pula di kemudian hari.
Demikian pula dengan kemoterapi yang merupakan zat kimia racun terhebat bagi sel, bukan semata sel kanker, tetapi juga sel tubuh normal yang menyerapnya. Akibatnya mereka yang menjalani radiaoterapi maupun kemoterapi akan sarat dengan efek samping seperti, mual-muntah, badan kurus, kulit kering dan membusuk, rambut-alis rontok, badan lemah, sakit kepala dan banyak lagi.
Pengobatan terhadap kanker saat ini masih merupakan tantangan yang besar bagi dunia kedokteran modern. Dan semoga kelak dapat ditemukan obat ampuh yang dapat mengeliminasi kanker dari tubuh tanpa efek samping yang berlebih
Dari pengertian tumor diatas, tumor dibagi mejadi 2 golongan besar yaitu tumor jinak (benign) dan tumor ganas ( malignant) atau yang popular dengan sebutan kanker. Terdapat perbedaan sifat yang nyata diantara dua jenis tumor ini dan memang membedakannya merupakan tuntutan wajib bagi praktisi medis. Perbedaan utama di antara keduanya adalah bahwa tumor ganas lebih berbahaya dan fatal sesuai dengan kata ‘ganas’ itu sendiri. Gambarannya begini, walaupun tumor ganas atau kanker itu berada pada jaringan di kaki, hal itu dalam tahap lanjut dapat mengakibatkan kematian. Tumor jinak hanya dapat menimbulkan kematian secara langsung terkait dengan lokasi tumbuhnya yang membahayakan misalnya tumor di leher yang dapat menekan saluran napas. Terdapat beberapa sifat yang membedakan antara tumor jinak dan ganas ;
1. Pertumbuhannya.
Tumor ganas tumbuhnya relative lebih cepat karena memang lebih aktif dan agresif, akibatnya jika di permukaan tubuh akan tampak tumor membesar dengan cepat dan seringkali di puncaknya disertai dengan luka atau pembusukan yang tidak kunjung sembuh. Luka menahun ini diakibatkan suplai nutrisi kepada sel-sel tumor tidak mampu mengimbangi lagi sel-sel tumor yang jumlah sangat cepat berlipat ganda, akibatnya sel-sel yang berada diujung tidak mendapat nutrisi dan mati. Jadi hati-hati jika memiliki luka yang kotor dan tidak kunjung sembuh dengan pengobatan bahkan bertambah luas.
2. Perluasannya.
Tumor jinak tumbuh secara ekspansif atau mendesak, tetapi tidak merusak struktur jaringan sekitarnya yang normal. Hal ini dikarenakan tumor jinak memiliki kapsul yang membatasi antara bagian sel-sel tumor yang abnormal dengan sel-sel normal. Sebaliknya pada tumor ganas yang memang tak berkapsul, tumor ini tumbuhnya infiltratif atau menyusup sembari merusak jaringan disekitarnya. Pertumbuhan semacam ini pertama kali ditemukan oleh Hippocrates – bapak ilmu kedokteran – dan beliau menamakan sebagai cancer (bahasa latin dari kepiting) karena menurutnya proses infiltratif seperti demikian menyerupai bentuk capit kepiting. Akibat proses infiltratif tersebut, maka jaringan disekitar tumor ganas seringkali rusak, dan jika jaringan yang diinfiltrasi itu berupa pembuluh darah maka tumor jenis ini dapat menimbulkan gejala perdarahan. Contohnya, pada kanker paru salah satu gejalanya adalah batuk darah.
3. Metastasis.
Metastasis merupakan anak sebar, artinya kemampuan suatu jaringan tumor untuk lepas dari induknya dan menempel serta mampu hidup dan berkembang lebih lanjut pada jaringan tubuh lain yang letaknya jauh dari jaringan tumor induk. Misalnya kanker payudara dapat bermetastasis hingga ke paru-paru dan menyebabkan gangguan proses pernapasan. Jalur metastasis bisa melalui aliran darah, aliran limfe maupun proses terlepas/terjatuh langsung menempel pada tempat tertentu. Metastasis hanya terjadi pada tumor ganas. Tumor jinak tidak pernah bermetastasis. Oleh karena metastasis inilah maka tumor ganas pada kaki misalnya dapat berakibat fatal terhadap penderitanya.
4. Gambaran selular.
Tumor ganas di bawah mikroskop akan tampak sekumpulan sel-sel yang seringkali tidak menyerupai jaringan normal semestinya, bahkan sel-sel ganas bisa memberi gambaran yang sama sekali tidak menyerupai sel apapun dalam tubuh manusia (tidak berdiferensiasi/anaplasi). Sedangkan tumor jinak umumnya diferensiasinya baik, artinya gambaran sel-selnya masih serupa sel-sel normal asalnya namun aktvitas pembelahannya saja yang lebih aktif. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin anaplastik / berdiferensiasi semakin buruk suatu tumor maka tumor itu pastilah semakin ganas.
5. Kekambuhan.
Tumor jinak umumnya dengan dioperasi secara tepat jarang untuk kambuh lagi. Tumor ganas memiliki kekambuhan lebih tinggi dikarenakan proses pembedahannya sulit untuk benar-benar tuntas dikarenakan memang jaringan abnormal ini tidak berkapsul sehingga sulit untuk dibedakan dan dipisahkan dari jaringan normal sekitarnya yang sudah diinfiltrasi. Selain itu tumor ganas tahap lanjut umumnya penyebaran sudah lebih luas bahkan sudah bermetasasis jauh sehingga operasi adalah tidak mungkin menyembuhkan lagi karena sel-sel ganas sudah ada hampir di setiap bagian tubuh.
Apa sih yang menyebabkan seseorang dapat menderita tumor? Ini adalah pertanyaan yang paling sering diutarakan seorang pasien kepada praktisi medis tentang tumor. Dan pertanyaan yang sebenarnya simpel ini sebenarnya menimbulkan kegelisahan sendiri bagi kaum medis setiap kali ditanyakan. Mengapa? Bukan karena kami tidak tahu jawabannya, tetapi dunia kedokteran dan penelitian memang belum tahu jawaban pasti akan penyebab pasti seseorang dapat menderita tumor.
Tapi secara umum dipercaya bahwa proses terbentuknya tumor berkaitan dengan 3 faktor utama yaitu genetik (keturunan), karsinogenik (onkogen) dan co-karsinogen (co-onkogen). Faktor genetik atau keturunan menyebutkan bahwa beberapa orang membawa bakat (berupa gen) untuk tumor tertentu. Tentunya bakat saja tidak akan menjelma menjadi tumor di kemudian hari jika tidak ada faktor pemicu lainnya. Faktor pemicu lainnya itu adalah karsinogen dan co-karsinogen. Yang termasuk karsinogen antara lain senyawa kimia (seperti asbes, pengawet dan pewarna makanan), faktor fisika (seperti radiasi roentgen berlebih, sinar matahari berlebih), hormonal (seperti peranan estrogen pada kanker payudara, testosterone pada kanker prostate), dan virus (seperti virus HPV sebagai biang keladi utama kanker leher rahim ). Sedangkan co-karsinogen adalah usia tertentu (umumnya kejadian tumor seiring dengan pertambahan usia), pola hidup yang salah, merokok, alkohol, pola makan kurang serat, adanya iritasi berulang-ulang.
Menilik pada bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi suatu tumor itu adalah multifaktorial dan prosesnya rumit. Akibatnya dalam dunia neoplasia, pencegahan terhadap jenis penyakit satu ini seringkali sulit karena memang penyebab pastinya belum diketahui. Terdapat beberapa keganasan yang sudah memiliki anjuran pencegahan yang sudah diterima umum antara lain menghindari merokok (untuk mencegah kanker leher rahim, paru, mulut), hindari hubungan seksual usia terlalu dini dan gonta-ganti seksual serta imunisasi HPV (untuk mencegah kanker leher rahim), hindari alcohol (untuk mencegah kanker lambung, kerongkongan, hati) dan lainnya.
Tetapi yang cukup penting bagi jenis penyakit tumor selain pencegahan adalah deteksi dini atau tes skrining. Penelitian akan tes skrining serta cara-cara deteksi dini semakin berkembang ke arah yang cukup menjanjikan. Terdapat beberapa cara dalam mengenali tumor. Juga terdapat prosedur-prosedur yang bertahap dilakukan oleh dokter guna mendiagnosa penyakit ini. Keluhan subjektif yang disampaikan pasien seringkali tidak banyak menolong karena memang umumnya gejala tidak spesifik.
Namun memang ada beberapa gejala yang sudah mengarahkan pikiran dokter ke kemungkinan tumor tertentu, misalnya :
- Sering keluar darah pada kemaluan setelah berhubungan seksual tanpa sebab jelas. Biasanya perlu dicurigai ke arah kanker leher rahim.
- Benjolan payudara yang keras dengan putting susu yang tertarik ke dalam, perlu dipertimbangkan kanker payudara.
- Batuk darah pada perokok berat yang berusia > 50 tahun seringnya terkait kanker paru.
- Perubahan feses menjadi kecil-kecil serta terdapatnya darah di dalamnya dapat dicurigai kanker usus besar.
Dari berbagai keluhan ini maka akan dilakukan pemeriksaan fisik klinis terhadap tubuh terkait. Seringkali diperlukan pemeriksaan dalam seperti colok dubur (memasukkan jari ke dalam lubang pantat) atau colok vagina. Tetapi seringkali semua prosedur ini baru menghasilkan suatu diagnosa presumptive atau dugaan pada sebagian besar kasus, sehingga pemeriksaan penunjang diperlukan.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dapat yang sederhana dan relative murah sampai yang supermahal dan canggih. Prinsipnya semakin aneh dan sulit suatu tumor maka diperlukan pemeriksaan yang lebih canggih dan mahal. Antara lain pemeriksaan penujang yang dilakukan adalah foto roentgen , CT-scan, MRI, USG, biopsy (sebagian atau seluruh jaringan yang dicurigai diambil dan diperiksa dibawah mikroskop) , bronkoskopi (memasukkan selang berkamera ke dalam saluran napas), endoscopy (memasukkan selang berkamera ke dalam saluran cerna, bisa lewat mulut atau dubur), pemeriksaan darah, pemeriksaan feses, Pap’s smear dan mammografi (foto roentgen khusus untuk payudara).
Di antara semua jenis pemeriksaan penunjang ini, pemeriksaan yang dapat memastikan jenis tumor dan derajad keganasannya adalah biopsy. Seperti yang disinggung sebelumnya, dalam hal penyakit tumor dikenal pemeriksaan skrining yang artinya deteksi dini akan kehadiran tumor tersebut sehingga penatalaksanaan dapat memberikan hasil lebih optimal. Deteksi dini adalah hal terpenting dalam penatalaksanaan tumor, khususnya kanker. Bahkan ada beberapa cara deteksi dini yang dapat dilakukan pasien sendiri, contohnya memeriksa payudara sendiri tiap bulan sehabis mens (SADARI-Periksa Payudara Sendiri) untuk mendeteksi adanya tumor pada payudara.
Namun sayangnya tidak semua jenis tumor memiliki cara skrining yang tepat. Berbagai kanker ganas seperti kanker paru, pancreas, lambung, ovarium seringkali terluput dari gejala keluhan maupun pemeriksaan klinis sehingga datang-datang sudah dalam tahap lanjut yang sulit ditangani lagi. Beruntungnya, dua jenis kanker tersering pada kaum wanita, yaitu kanker payudara dan leher rahim, memiliki deteksi dini yang cukup akurat. Pap’s smear masih menjadi skrining efektif bagi kanker leher rahim maupun kanker endometrium (dinding rahim), sedangkan mammografi dikombinasi dengan SADARI dan USG efektif digunakan sebagai skrining kanker payudara.
Jadi jangan sia-siakan keuntungan ini bagi kaum wanita, berkonsultasilah dengan dokter dan lakukan skrining dengan teratur. Selain mengetahui jenis tumornya, khusus untuk tumor ganas atau kanker, penting pula diketahui klasifikasi atau derajadnya. Secara umum, semakin kecil derajat kanker maka semakin dapat ditanggulangi dan prognosis (harapan kesembuhan dan hidup) jauh lebih besar.
Ada 2 sistem klasifikasi tumor yaitu grading dan staging. Dalam grading, klasifikasi tumor berdasarkan gambaran jaringan pada mikroskop, yaitu dari hasil biopsy (gambaran histopatologik). Di sini dinilai tingkat anaplastik atau differensiasi sel-sel kanker, semakin kacau gambaran sel (semakin anaplastik) semakin tinggi derajatnya dan berarti semakin ganas kanker tersebut.
Sedangkan staging didapatkan dari pemeriksaan klinis-penunjang, dan umumnya derajatnya dinilai berdasarkan ukuran besar tumor induk, sudah menyebar ke kelenjar limfe atau belum serta sudah bermetastasis atau belum. Yang lebih bermakna dalam terapi adalah klasifikasi berdasarkan staging ini. Semakin tinggi staging, misalnya kanker yang sudah bermetastasis, maka pengobatan akan menemukan jalan buntu dan harapan hidup berkurang.
Pengobatan tumor ada berbagai macam, secara umum merupakan kombinasi antara operasi, radiasi dan kimia (kemoterapi). Tumor jinak jika mengganggu dan memungkinkan biasanya dioperasi dan diangkat. Dan selanjutnya kekambuhan jarang terjadi. Tumor jinak tidak memerlukan terapi radiasi maupun kemoterapi. Berbeda dengan tumor jinak, hanya kanker stadium sangat awal saja yang dapat diterapi dengan operasi semata, selebihnya biasanya diterapi kombinasi antar ketiga macam jenis terapi di atas.
Kanker dengan staging rendah umumnya dengan dioperasi pengangkatan yang baik dan dilanjutkan dengan radiasi terhadap kemungkinan adanya sel-sel yang tertinggal di sekitar daerah yang dioperasi, maka dapat menyembuhkan penderita. Pada kanker yang sudah bermetastasis, tambahan kemoterapi yang berupa obat yang disuntikkan ke pembuluh darah dimaksudkan untuk mengejar dan membunuh sel-sel kanker yang sudah berkeliaran ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah atau limfe. Dan biasanya dalam tahap lanjut, terapi kanker hanya ditujukan paliatif yang berarti bertujuan mempanjang usia dan meringankan gejala yang membuat pasien menderita. Terapi paliatif tidak bertujuan menyembuhkan, karena memang kanker sudah relative sulit disembuhkan pada stadium lanjut.
Kapan diperlukan radiasi antara lain berdasarkan sensitivitas jenis sel kanker terhadap radiasi. Ada beberapa sel kanker yang memang sangat peka diradiasi dan memberikan hasil baik seperti kanker dari sel-sel embrional (contoh testis), atau sel-sel darah dan limfe (contoh limfoma). Tetapi ada beberapa sel kanker yang memang kebal terhadap penyinaran. Terkadang radiasi dilakukan sebelum operasi dengan tujuan kanker sedikit mengecil sehingga operasi lebih mudah dengan lebih sedikit efek samping. Permasalahan pengobatan kanker adalah kompleks, tidak semudah yang dituliskan diatas.
Walaupun secara teoritis radiasi dan kemoterapi dapat membunuh kanker dan operasi dapat membuang kanker, terdapat batasan nyata terhadap upaya-upaya ini. Hal ini dikarenakan penyakit kanker disebabkan oleh agen yang unik, yaitu sel tubuh sendiri yang kehilangan kontrol dan membangkang terhadap koordinasi selular. Tentunya ini berbeda dengan penyakit lain pada umumnya yang disebabkan oleh agen asing seperti virus, bakteri. Akibatnya pengobatan terhadap kanker seperti radiasi dan kemoterapi secara klinis akan membunuh sel-sel normal yang terkena juga. Oleh karena itu walaupun dunia kedokteran sudah menemukan dosis radiasi yang dapat mematikan kanker tetapi penyinaran sebesar dosis itu mustahil dilakukan karena itu berarti merusak jaringan normal yang ada disekitarnya juga. Bayangkan jika kanker berada di hati dan dengan radiasi berarti hati pun ikut rusak, hal itu akan mendatangkan kematian pula di kemudian hari.
Demikian pula dengan kemoterapi yang merupakan zat kimia racun terhebat bagi sel, bukan semata sel kanker, tetapi juga sel tubuh normal yang menyerapnya. Akibatnya mereka yang menjalani radiaoterapi maupun kemoterapi akan sarat dengan efek samping seperti, mual-muntah, badan kurus, kulit kering dan membusuk, rambut-alis rontok, badan lemah, sakit kepala dan banyak lagi.
Pengobatan terhadap kanker saat ini masih merupakan tantangan yang besar bagi dunia kedokteran modern. Dan semoga kelak dapat ditemukan obat ampuh yang dapat mengeliminasi kanker dari tubuh tanpa efek samping yang berlebih
Penyakit-penyakit kelamin
GONORRHEA & CHLAMYDIA
• Disebabkan oleh bakteri. Infeksi dimulai beberapa hari sampai beberapa minggu setelah hubungan intim dengan orang yang terjangkit penyakit ini
• Pada pria, penyakit ini menyebabkan keluarnya cairan dari kemaluan pria. Buang air kecil dapat terasa sakit. Gejala-gejala ini dapat terasa berat atau tidak terasa sama sekali.
• Gejala-gejala gonorrhea pada wanita biasanya sangat ringan atau tidak terasa sama sekali, tetapi kalau tidak diobati penyakit ini dapat menjadi parah dan menyebabkan kemandulan
• Penyakit ini dapat disembuhkan dengan antibiotik bila ditangani secara dini
HERPES
• Disebabkan oleh virus, dapat diobati tetapi tidak dapat disembuhkan
• Gejala timbul antara 3 sampai 10 hari setelah berhubungan intim dengan penderita penyakit ini
• Gejala awal muncul seperti lecet yang kemudian terbuka menjadi lubang kecil dan berair.
• Dalam 5 sampai 10 hari gejala hilang
• Virus menetap dalam tubuh dan dapat timbul lagi sesuatu saat, dan kadang-kadang sering
• Wanita kerap kali tidak sadar bahwa ia menderita herpes akrena lecet terjadi di dalam vagina
INFEKSI JAMUR
• Disebabkan oleh jamur
• Menyebabkan kegatalan berwarna merah di bawah kulit pria yang tidak disunat
• Pada wanita akan ke luar cairan putih kental yang menyebabkan rasa gatal
• Dapat disembuhkan dengan krim anti jamur
SYPHILIS
• Disebabkan oleh bakteria. Lesi muncul antara 3 minggu sampai 3 bulan setelah berhubungan intim dengan penderita penyakit ini
• Luka terlihat seperti lubang pada kulit dengan tepi yang lebih tinggi. Pada umumnya tidak terasa sakit
• Luka akan hilang setelah beberapa minggu, tetapi virus akan menetap pada tubuh dan penyakit dapat muncul berupa lecet-lecet pada seluruh tubuh Lecet-lecet ini akan hilang juga, dan virus akan menyerang bagiantubuh lain
• Syphilis dapat disembuhkan pada tiap tahapan dengan penicillin
• Pada wanita lesi dapat tersembunyi pada vagina
VAGINISTIS
• Infeksi pada vagina yang biasanya menyebabkan keluarnya cairan dari vagina yang berbau dan menimbulkan ketidak nyamanan
• Disebabkan oleh berbagai jenis bakteri (bakteri gonorrhea, chlamydia) atau jamur
• Juga dapat disebabkan oleh berbagai bakteri tidak berbahaya yang memang menetap pada vagina
• Dapat diselidiki dengan meneliti cairan vagina tersebut dengan mikroskop
• Pada umumnya dapat disembuhkan dengan obat yang tepat sesuai dengan penyebabnya.
BISUL PADA ALAT KELAMIN
• Disebabkan oleh virus (Virus Human Papilloma atau HPV)
• Muncul berupa satu atau banyak bisul atau benjolan antara sebulan sampai setahun setelah berhubungan intim dengan penderita penyakit tersebut
• Pada umumnya tidak dapat terlihat pada wanita karena terletak di dalam vagina, atau pada pria karena terlalu kecil. Dapat diuji dengan lapisan cuka
• Dapat berakibat serius pada wanita karena dapat menyebabkan kanker cervix
• Bisul pada kelamin ini dapat disembuhkan, wanita harus menjalankan pap smear setiap kali berganti pasangan intim
KUTU KELAMIN
• Sangat kecil (lebih kecil atau sama dengan 1/8 inch), berwana kelabu kecoklatan, menetap pada rambut kemaluan.
• Dapat disembuhkan dengan obat cair yang digosokkan pada rambut kelamin
KUTU DI BAWAH KULIT
• Mirip dengan kutu kelamin, tetapi ukurannya lebih kecil dan menetap di bawah kulit
• Menyebabkan luka-luka kecil dan gatal di seluruh tubuh
• Diobati dengan obat cair yang diusapkan ke seluruh tubuh
• Pakaian, seprei dan handuk harus dicuci setelah pengobatan, karena kutu dapat menetap pada kain-kain terebut
AIDS (ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME)/HIV DISEASE
• Penyakit akibat hubungan intim yang paling serius, menyebabkan tidak bekerjanya sistim kekebalan tubuh
• Tidak ada gejala yang nyata tanpa penelitian darah
• Dapat menyebabkan kematian setelah sepukuh tahun setelah terinfeksi virus HIV, tetapi pengobatan telah ditemukan
• Disebarkan melalui hubungan intim dan pemakaian jarum suntik secara bersamaan.
• Disebabkan oleh bakteri. Infeksi dimulai beberapa hari sampai beberapa minggu setelah hubungan intim dengan orang yang terjangkit penyakit ini
• Pada pria, penyakit ini menyebabkan keluarnya cairan dari kemaluan pria. Buang air kecil dapat terasa sakit. Gejala-gejala ini dapat terasa berat atau tidak terasa sama sekali.
• Gejala-gejala gonorrhea pada wanita biasanya sangat ringan atau tidak terasa sama sekali, tetapi kalau tidak diobati penyakit ini dapat menjadi parah dan menyebabkan kemandulan
• Penyakit ini dapat disembuhkan dengan antibiotik bila ditangani secara dini
HERPES
• Disebabkan oleh virus, dapat diobati tetapi tidak dapat disembuhkan
• Gejala timbul antara 3 sampai 10 hari setelah berhubungan intim dengan penderita penyakit ini
• Gejala awal muncul seperti lecet yang kemudian terbuka menjadi lubang kecil dan berair.
• Dalam 5 sampai 10 hari gejala hilang
• Virus menetap dalam tubuh dan dapat timbul lagi sesuatu saat, dan kadang-kadang sering
• Wanita kerap kali tidak sadar bahwa ia menderita herpes akrena lecet terjadi di dalam vagina
INFEKSI JAMUR
• Disebabkan oleh jamur
• Menyebabkan kegatalan berwarna merah di bawah kulit pria yang tidak disunat
• Pada wanita akan ke luar cairan putih kental yang menyebabkan rasa gatal
• Dapat disembuhkan dengan krim anti jamur
SYPHILIS
• Disebabkan oleh bakteria. Lesi muncul antara 3 minggu sampai 3 bulan setelah berhubungan intim dengan penderita penyakit ini
• Luka terlihat seperti lubang pada kulit dengan tepi yang lebih tinggi. Pada umumnya tidak terasa sakit
• Luka akan hilang setelah beberapa minggu, tetapi virus akan menetap pada tubuh dan penyakit dapat muncul berupa lecet-lecet pada seluruh tubuh Lecet-lecet ini akan hilang juga, dan virus akan menyerang bagiantubuh lain
• Syphilis dapat disembuhkan pada tiap tahapan dengan penicillin
• Pada wanita lesi dapat tersembunyi pada vagina
VAGINISTIS
• Infeksi pada vagina yang biasanya menyebabkan keluarnya cairan dari vagina yang berbau dan menimbulkan ketidak nyamanan
• Disebabkan oleh berbagai jenis bakteri (bakteri gonorrhea, chlamydia) atau jamur
• Juga dapat disebabkan oleh berbagai bakteri tidak berbahaya yang memang menetap pada vagina
• Dapat diselidiki dengan meneliti cairan vagina tersebut dengan mikroskop
• Pada umumnya dapat disembuhkan dengan obat yang tepat sesuai dengan penyebabnya.
BISUL PADA ALAT KELAMIN
• Disebabkan oleh virus (Virus Human Papilloma atau HPV)
• Muncul berupa satu atau banyak bisul atau benjolan antara sebulan sampai setahun setelah berhubungan intim dengan penderita penyakit tersebut
• Pada umumnya tidak dapat terlihat pada wanita karena terletak di dalam vagina, atau pada pria karena terlalu kecil. Dapat diuji dengan lapisan cuka
• Dapat berakibat serius pada wanita karena dapat menyebabkan kanker cervix
• Bisul pada kelamin ini dapat disembuhkan, wanita harus menjalankan pap smear setiap kali berganti pasangan intim
KUTU KELAMIN
• Sangat kecil (lebih kecil atau sama dengan 1/8 inch), berwana kelabu kecoklatan, menetap pada rambut kemaluan.
• Dapat disembuhkan dengan obat cair yang digosokkan pada rambut kelamin
KUTU DI BAWAH KULIT
• Mirip dengan kutu kelamin, tetapi ukurannya lebih kecil dan menetap di bawah kulit
• Menyebabkan luka-luka kecil dan gatal di seluruh tubuh
• Diobati dengan obat cair yang diusapkan ke seluruh tubuh
• Pakaian, seprei dan handuk harus dicuci setelah pengobatan, karena kutu dapat menetap pada kain-kain terebut
AIDS (ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME)/HIV DISEASE
• Penyakit akibat hubungan intim yang paling serius, menyebabkan tidak bekerjanya sistim kekebalan tubuh
• Tidak ada gejala yang nyata tanpa penelitian darah
• Dapat menyebabkan kematian setelah sepukuh tahun setelah terinfeksi virus HIV, tetapi pengobatan telah ditemukan
• Disebarkan melalui hubungan intim dan pemakaian jarum suntik secara bersamaan.
MACAM-MACAM PENYAKIT
1. Penyakit Tidak Menular
Penyakit dibedakan menjadi 2 :
Penyakit tidak menular
Penyakit menular
a. Penyakit Tidak Menular, macamnya :
1). Penyakit Tumor
2). Penyakit Gondok
3). Penyakit Gula (diabetes Melitus)
4). Penyakit Jantung
5). Penyakit Kekurangan Gizi
6). Peredaran Darah
1). Penyakit Tumor
Penyakit ini disebabkan oleh pertumbuhan sel yang melebihi pertumbuhan jaringan di sekitarnya. Tumor dapat terjadi di sembarangan tempat dan jaringan. Tumor diberi nama sesuai dengan jaringan asalnya. Penyebab terjadinya tumur hingga saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan tumor dapat terjadi karena penyinaran X yang terus menerus. Ada pula pendapat yang mengatakan sebagai akibat sinar matahari yang terus menerus. Ada yang mengira virus.
Pencegahan :
Oleh karena penyebab terjadinya penyakit tumor berlum diketahui, maka pencegahannya juga belum diketahui dengan tepat. Usaha belum diketahui dengan tepat. Usaha mengurangi akibat buruk penyakit tumor ialah dengan jalan mengenal gejala-gejala sedini mungkin.
2). Penyakit yang disebabkan oleh kelainan kelenjar Getah bening dan hormon.
a. Penyakit Gondok
Penyakit gondok adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan pada kelenjar gondok, terlihat dengan pembesaran di leher bagian depan. Kelenjar gondok ada dua. Apabila terjadi penyakit, mungkin sebelah saja yang membesar atau kedua-duanya.
b. Penyakit Gula
Glucon adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh pankreas. Ada orang yang tidak sanggup menghasilkan insulin secukupnya untuk memenuhi keperluannya sendiri. Kekurangan insulin adalah naiknya kadar gula atau glukosa di dalam darah. Sedangkan sel-sel tubuh tidak mendapatkan persediaan yang cukup dari makanan. Dalam hal ini, kelebihan glukosa itu terbuang dalam air seni. Inilah yang disebut penyakit gula. Jika hal ini berlangsung terus, penderita menjadi lemah dan bisa meninggal karena kekurangan zat-zat makanan. Penyakit gula adalah penyakit yang aneh dan rumit. Bukan saja pankreas terlibat, melainkan juga alat-alat yang lain, termasuk kelenjar anak ginjal. Hypothyse, gondok, dan hati. Alam keadaan itu, penderita harus melakukan salah satu dari dua hal yang tersebut dibawah ini :
- Ia harus mengurangi makanan yang dimakan.
- Dia harus menyediakan cukup banyak insulin untuk memenuhi keperluan tubuhnya.
3). Jantung
Jantung sangat vital, yang berfungsi memompa aliran darah ke seluruh tubuh dan tidak pernah berhenti. Jantung mempunyai dua pompa, yang satu dibagian kanan. Yang satu dibagian kiri. Jantung berdenyut lebih dari 100.000 kali sehari, terus menerus memompakan darah melalui lebih dari 60.000 mil pembuluh darah yang amat kecil.
Beberapa penyebab terjadinya serangan jantung adalah :
a). Akibat tekanan darah tinggi.
b). Suka merokok
c). Minum minuman keras
Ketiga penyebab Agina Pectoris yaitu keadaan nyeri tujuan yang menusuk-nusuk dan rasa seperti tertekan, terutama pada bagian dada.
4). Penyakit Karena kekurangan Gizi
Karena kekurangan vitamin A dalam makanannya, anak akan menderita buta senja (xeropthalmia). Pengobatannya adalah dengan memberikan makanan yang banyak mengandung vitamin A.
Kekurangan vitamin B1 akan mengakitbatkan pembengkakan di kedua tungkai sehingga sukar berjalan, tindakan lamban, an terlihat bermalas-malasan. Pengobatan adalah dengan memberikan makanan yang banyak mengandung vitamin B1.
5). Peredaran Darah
Darah manusia berwarna merah. Bila darah itu didiamkan beberapa waktu, akan kita dapati dua macam zat, yaitu :
a). Yang berwarna kekuning-kuningan.
b). Endapan yang berwarna merah (sel-sel darah).
Sel-sel darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, (leukosit), dan sel pembeku (trombosit). Pada orang laki-laki dewasa setiap 3 mm darah mengandung 5 juta sel, pada wanita dewasa 4 juta sel.
Golongan darah
Golongan darah manusia ada 4 macam, yaitu O, A, B, dan AB. Peredaran darah manusia terjadi karena adanya jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh melewati pembuluh nadi, kemudian kembali ke jantung (peredaran darah besar). Bersamaan dengan itu, jantung juga memompa darah ke paru-paru, kemudian kembali ke jantung (peredaran darah kecil).
Banyaknya darah pada manusia dewasa kira-kira 4 sampai 5 liter atau 1/13 berat badan orang tersebut. Jika berat badan 52 Kg. darahnya adalah 1/13x52=4 liter. Tekanan darah diukur dengan tensimeter (alat pengukur tensi). Yang diukur adalah tekanan sistole (yaitu waktu darah ditekan keluar dari jantung) 120 mm air raksa (Hg) dan tekanan diastoir (pada waktu darah masuk ke jantung) 89 mmHg. Jadi apabila banyaknya darah kurang dari normal, tekanan darah akan berkurang yang disebut hypotensi (hypo = bawah, kurang; tensi = tekanan). Bila tekanan darah lebih tinggi dari normal disebut hypertensi (hyper=lebih). Keadaan tersebut perlu diketahui penyebab kelainannya. Walaupun demikia, masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan kelainan pada tekanan darah, misalnya :
b. Kelainan pada pembuluh darah.
c. Ketuaan
d. Penyakit Jantung
2. Penyakit Menular
Adalah suatu penyakit yang dengan mudah berkembang ke tubuh lain dengan melalui perantara tertentu, secara langsung maupun tidak langsung. Yang tergolong penyakit menular adalah :
a. TBC
b. Penyakit kulit (Jamur Kulit)
c. Colera
d. Flu / Pilek
e. Penyakit Mata / Belek, dan lain-lain
Selain penyakit-penyakit di atas, penyakit menular yang perlu diwaspadai dan dicegah, karena tergolong sangat berbahaya yaitu HI/AIDS.
Penyakit dibedakan menjadi 2 :
Penyakit tidak menular
Penyakit menular
a. Penyakit Tidak Menular, macamnya :
1). Penyakit Tumor
2). Penyakit Gondok
3). Penyakit Gula (diabetes Melitus)
4). Penyakit Jantung
5). Penyakit Kekurangan Gizi
6). Peredaran Darah
1). Penyakit Tumor
Penyakit ini disebabkan oleh pertumbuhan sel yang melebihi pertumbuhan jaringan di sekitarnya. Tumor dapat terjadi di sembarangan tempat dan jaringan. Tumor diberi nama sesuai dengan jaringan asalnya. Penyebab terjadinya tumur hingga saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan tumor dapat terjadi karena penyinaran X yang terus menerus. Ada pula pendapat yang mengatakan sebagai akibat sinar matahari yang terus menerus. Ada yang mengira virus.
Pencegahan :
Oleh karena penyebab terjadinya penyakit tumor berlum diketahui, maka pencegahannya juga belum diketahui dengan tepat. Usaha belum diketahui dengan tepat. Usaha mengurangi akibat buruk penyakit tumor ialah dengan jalan mengenal gejala-gejala sedini mungkin.
2). Penyakit yang disebabkan oleh kelainan kelenjar Getah bening dan hormon.
a. Penyakit Gondok
Penyakit gondok adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan pada kelenjar gondok, terlihat dengan pembesaran di leher bagian depan. Kelenjar gondok ada dua. Apabila terjadi penyakit, mungkin sebelah saja yang membesar atau kedua-duanya.
b. Penyakit Gula
Glucon adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh pankreas. Ada orang yang tidak sanggup menghasilkan insulin secukupnya untuk memenuhi keperluannya sendiri. Kekurangan insulin adalah naiknya kadar gula atau glukosa di dalam darah. Sedangkan sel-sel tubuh tidak mendapatkan persediaan yang cukup dari makanan. Dalam hal ini, kelebihan glukosa itu terbuang dalam air seni. Inilah yang disebut penyakit gula. Jika hal ini berlangsung terus, penderita menjadi lemah dan bisa meninggal karena kekurangan zat-zat makanan. Penyakit gula adalah penyakit yang aneh dan rumit. Bukan saja pankreas terlibat, melainkan juga alat-alat yang lain, termasuk kelenjar anak ginjal. Hypothyse, gondok, dan hati. Alam keadaan itu, penderita harus melakukan salah satu dari dua hal yang tersebut dibawah ini :
- Ia harus mengurangi makanan yang dimakan.
- Dia harus menyediakan cukup banyak insulin untuk memenuhi keperluan tubuhnya.
3). Jantung
Jantung sangat vital, yang berfungsi memompa aliran darah ke seluruh tubuh dan tidak pernah berhenti. Jantung mempunyai dua pompa, yang satu dibagian kanan. Yang satu dibagian kiri. Jantung berdenyut lebih dari 100.000 kali sehari, terus menerus memompakan darah melalui lebih dari 60.000 mil pembuluh darah yang amat kecil.
Beberapa penyebab terjadinya serangan jantung adalah :
a). Akibat tekanan darah tinggi.
b). Suka merokok
c). Minum minuman keras
Ketiga penyebab Agina Pectoris yaitu keadaan nyeri tujuan yang menusuk-nusuk dan rasa seperti tertekan, terutama pada bagian dada.
4). Penyakit Karena kekurangan Gizi
Karena kekurangan vitamin A dalam makanannya, anak akan menderita buta senja (xeropthalmia). Pengobatannya adalah dengan memberikan makanan yang banyak mengandung vitamin A.
Kekurangan vitamin B1 akan mengakitbatkan pembengkakan di kedua tungkai sehingga sukar berjalan, tindakan lamban, an terlihat bermalas-malasan. Pengobatan adalah dengan memberikan makanan yang banyak mengandung vitamin B1.
5). Peredaran Darah
Darah manusia berwarna merah. Bila darah itu didiamkan beberapa waktu, akan kita dapati dua macam zat, yaitu :
a). Yang berwarna kekuning-kuningan.
b). Endapan yang berwarna merah (sel-sel darah).
Sel-sel darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, (leukosit), dan sel pembeku (trombosit). Pada orang laki-laki dewasa setiap 3 mm darah mengandung 5 juta sel, pada wanita dewasa 4 juta sel.
Golongan darah
Golongan darah manusia ada 4 macam, yaitu O, A, B, dan AB. Peredaran darah manusia terjadi karena adanya jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh melewati pembuluh nadi, kemudian kembali ke jantung (peredaran darah besar). Bersamaan dengan itu, jantung juga memompa darah ke paru-paru, kemudian kembali ke jantung (peredaran darah kecil).
Banyaknya darah pada manusia dewasa kira-kira 4 sampai 5 liter atau 1/13 berat badan orang tersebut. Jika berat badan 52 Kg. darahnya adalah 1/13x52=4 liter. Tekanan darah diukur dengan tensimeter (alat pengukur tensi). Yang diukur adalah tekanan sistole (yaitu waktu darah ditekan keluar dari jantung) 120 mm air raksa (Hg) dan tekanan diastoir (pada waktu darah masuk ke jantung) 89 mmHg. Jadi apabila banyaknya darah kurang dari normal, tekanan darah akan berkurang yang disebut hypotensi (hypo = bawah, kurang; tensi = tekanan). Bila tekanan darah lebih tinggi dari normal disebut hypertensi (hyper=lebih). Keadaan tersebut perlu diketahui penyebab kelainannya. Walaupun demikia, masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan kelainan pada tekanan darah, misalnya :
b. Kelainan pada pembuluh darah.
c. Ketuaan
d. Penyakit Jantung
2. Penyakit Menular
Adalah suatu penyakit yang dengan mudah berkembang ke tubuh lain dengan melalui perantara tertentu, secara langsung maupun tidak langsung. Yang tergolong penyakit menular adalah :
a. TBC
b. Penyakit kulit (Jamur Kulit)
c. Colera
d. Flu / Pilek
e. Penyakit Mata / Belek, dan lain-lain
Selain penyakit-penyakit di atas, penyakit menular yang perlu diwaspadai dan dicegah, karena tergolong sangat berbahaya yaitu HI/AIDS.
PENYEMBUHAN LUKA (WOUND HEALING)
PENYEMBUHAN LUKA
(WOUND HEALING)
DEFINISI
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodeling) jaringan.
JENIS LUKA
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka.
1. Berdasarkan tingkat kontaminasi
a) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.
b) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
c) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
d) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.
2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a) Stadium I : Luka Superfisial (”Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b) Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c) Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d) Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
Gambar 1. Tingkat Kedalaman Luka
3. Berdasarkan waktu penyembuhan luka
1. Luka akut: yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
Gambar 2. Luka Akut
2. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
Gambar 3. Luka Kronis
MEKANISME TERJADINYA LUKA
a) Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument yang tajam. Missal yang terjadi akibat pembedahan.
b) Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
c) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang kecil.
e) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
f) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
g) Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas seperti api, matahari, listrik, maupun bahan kimia.
FASE PENYEMBUHAN LUKA
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan.
Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira – kira hari kelima.. pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.
Gambar 4. Fase Inflamasi
Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira – kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asama aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka.
Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan.
Gambar 5. Fase Proliferasi
Fase Penyudahan (Remodelling)
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan – bulan dan dinyatakan berkahir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.
Gambar 6. Fase Remodelling
KLASIFIKASI PENYEMBUHAN
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar, seperti yang telah diterangkan tadi, berjalan secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder atau sanatio per secundam intentionem (Latin: sanatio = penyembuhan, per = melalui, secundus = kedua, intendere = cara menuju kepada). Cara ini biasanya makan waktu cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama kalau lukanya menganga lebar.
Jenis penyembuhan yang lain adalah penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem, yang terjadi bila luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Parutan yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil.
Namun, penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang terkontaminasi berat dan /atau tidak berbatas tegas. Luka yang compang-camping atau luka tembak, misalnya, sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan dibersihkan dan dieksisi (debridement) dahulu dan kemudian dibiarkan selama 4-7 hari. Baru selanjutnya dijahit dan dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini umumnya disebut penyembuhan primer tertunda.
Jika, setelah dilakukan debridement, luka langsung dijahit, dapat diharapkan penyembuhan primer.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA
1. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.
2. Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Pasien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat.
3. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.
4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok.
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
5. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar, hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
6. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (pus).
7. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
8. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
9. Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
10. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.
a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera.
b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.
KOMPLIKASI
Komplikasi Dini
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu.Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan.
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, ,multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.
Komplikasi Lanjut
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka.
DAFTAR PUSTAKA
1) Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta: 1995.
2) Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta: 1997, hal 72-81.
3) www.emedicine.com/plastic/TOPIC477.HTM didownload tanggal 26 Juni 2008.
4) www.woundpedia.com didownload tanggal 26 Juni 2008
(WOUND HEALING)
DEFINISI
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodeling) jaringan.
JENIS LUKA
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka.
1. Berdasarkan tingkat kontaminasi
a) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.
b) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
c) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
d) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.
2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a) Stadium I : Luka Superfisial (”Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b) Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c) Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d) Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
Gambar 1. Tingkat Kedalaman Luka
3. Berdasarkan waktu penyembuhan luka
1. Luka akut: yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
Gambar 2. Luka Akut
2. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
Gambar 3. Luka Kronis
MEKANISME TERJADINYA LUKA
a) Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument yang tajam. Missal yang terjadi akibat pembedahan.
b) Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
c) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang kecil.
e) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
f) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
g) Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas seperti api, matahari, listrik, maupun bahan kimia.
FASE PENYEMBUHAN LUKA
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan.
Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira – kira hari kelima.. pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.
Gambar 4. Fase Inflamasi
Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira – kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asama aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka.
Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan.
Gambar 5. Fase Proliferasi
Fase Penyudahan (Remodelling)
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan – bulan dan dinyatakan berkahir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.
Gambar 6. Fase Remodelling
KLASIFIKASI PENYEMBUHAN
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar, seperti yang telah diterangkan tadi, berjalan secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder atau sanatio per secundam intentionem (Latin: sanatio = penyembuhan, per = melalui, secundus = kedua, intendere = cara menuju kepada). Cara ini biasanya makan waktu cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama kalau lukanya menganga lebar.
Jenis penyembuhan yang lain adalah penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem, yang terjadi bila luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Parutan yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil.
Namun, penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang terkontaminasi berat dan /atau tidak berbatas tegas. Luka yang compang-camping atau luka tembak, misalnya, sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan dibersihkan dan dieksisi (debridement) dahulu dan kemudian dibiarkan selama 4-7 hari. Baru selanjutnya dijahit dan dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini umumnya disebut penyembuhan primer tertunda.
Jika, setelah dilakukan debridement, luka langsung dijahit, dapat diharapkan penyembuhan primer.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA
1. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.
2. Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Pasien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat.
3. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.
4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok.
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
5. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar, hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
6. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (pus).
7. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
8. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
9. Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
10. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.
a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera.
b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.
KOMPLIKASI
Komplikasi Dini
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu.Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan.
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, ,multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.
Komplikasi Lanjut
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka.
DAFTAR PUSTAKA
1) Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta: 1995.
2) Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta: 1997, hal 72-81.
3) www.emedicine.com/plastic/TOPIC477.HTM didownload tanggal 26 Juni 2008.
4) www.woundpedia.com didownload tanggal 26 Juni 2008
Langganan:
Postingan (Atom)